QBeritakan.com - Saat berada di bibir sungai, mereka semua menggelengkan kepala. Permukaan sungai sudah dipenuhi oleh bangkai ikan. Pemandangan yang terlihat hanya putih beku meskipun belum berbau busuk.
"Jika terus-terusan begini habislah nanti semua ikan-ikan di sungai," keluh laki-laki tengah baya. Wajahnya terlihat geram dan marah.
"Meracun bukan hanya membunuh ikan besar, tapi menghabiskan semua ikan-ikan yang kecil juga."
"Menurut Paman, siapa pelakunya?"
"Entahlah, siapa pelaku ini."
"Mereka, sepertinya mereka meracun dari atas. Bekas air racunnya, baru mengalir ke bawah dan meracuni apa saja di bawahnya."
"Beri tahu semuanya, 1 hari ini jangan ada yang mandi di sungai! Jangan ada yang mengambil air untuk minum ataupun mandi. Kecuali hari ini turun hujan." perintah pamannya.
Kedua orang lelaki itu pun, beranjak pulang. Saat mereka pulang ke rumah terdengar suara tangisan menjerit, suara itu berasal dari suara istrinya.
"Ada apa?" Pamannya Marna melompat berlari lebih cepat. la pun memanjat tangga rumah. Betapa orang tua itu terkejut, saat ia masuk kerumah mulut Adai mengeluarkan busa. Anak lelakinya seperti sedang mengalami keracunan. Ia tadi sempat terteguk air sungai saat menangkap ikan.
"Aku, cari air kelapa muda dulu."
"Ayo Pak, cepat! Anak kita, Pak!" Semua orang di rumah dibuat kalang kabut. Beberapa orang langsung melompat keluar rumah, coba mencari pohon kelapa. Sementara ini air kelapa saja lah satu-satunya cara untuk membuang segala racun, yang sudah terlanjur bercampur ke dalam aliran darah orang yang sedang keracunan.
Di rumah itu, tidak ada motor mobil. Ayah Adai coba berusaha lari sekuatnya. Ia tahu ada hanya ada 1 pohon kelapa yang paling dekat di sekitar rumahnya. Dan itupun, jaraknya kurang lebih 1 kilometer.
Adai yang sedang sekarat, mulutnya mengeluarkan busa. 11 orang penghuni rumah melakukan segala cara, supaya racun yang ada dalam tubuh Adai tidak menyebar. Mama Adai coba memberi air beras, memberinya air minum hingga lain sebagainya.
Adai yang masih belum jua terselamatkan. Tiba-tiba saja salah satu anggota kekuarga yang saat itu melihat Adai, ikut tumbang tanpa sebab. la juga mengeluarkan busa yang sama seperti Adai. Melihat apa yang sedang terjadi semua semakin panik.
Kali ini bukan hnya 1 atau dua orang saja, bahkan seorang balita juga ikut mengeluarkan busa dari mulutnya. Semua orang yang sudah panik, mendadak menangis histeris. Hingga akhirnya, semua pun mendadak jatuh tumbang dan menemui ajalnya satu persatu.
Air yang diracun menggunakan potas, ternyata bukan terjadi pagi ini melainkan sudah sejak malam tadi. Sedangkan malam tadi keluarga itu mengangkut air menggunakan timba, dan mengisi drum bekas minyak sebagai stok air bersih untuk memasak dan lain sebagainya. Celakanya pagi tadi air itu sudah digunakan untuk merebus air kopi, mengolah air teh dan digunakan untuk mencuci beras.
Paman Marna yang masih berlari untuk mengambil air kelapa, mulai merasakan sakit kepala yang luar biasa. Dadanya mendadak menjadi sesak, seolah ada sesuatu yang besar di dalam jantung yang menyumpat aliran darah. Paru-paru lelaki itu, sulit untuk mengembang menampung oksigen. Lehernya menjadi biru dengan seketika. Namun di matanya, yang ia ingat dan dibayang-bayang, adalah wajah anaknya yang saat ini sedang sekarat.
Pohon kelapa yang dicarinya sudah ia dapatkan. Tinggi pohon itu kurang lebih 7 meter, namun lelaki itu memaksakan dirinya untuk naik ke atas demi memetik buah kelapa tersebut.
Kaki dan lengannya menjadi terasa kaku. Namun sudah kepalang tanggung, ia sudah menaiki pohon itu setinggi lebih dari 3 meter. Gumpalan busa keluar menerus tanpa henti dari mulutnya. Lelaki tersebut kehilangan keseimbangan, kedua tangannya tidak mampu lagi memeluk pohon. Seketika tubuhnya menjadi tumbang dan akhirnya jatuh.
Lelaki tersebut mulai sekarat. Kepala mendadak sakit, haus luar biasa. Ia kini tidak bisa merasakan apapun, terkecuali merasakan haus yang amat teramat
"Haus..." Ucapan terakhirnya, dan akhirnya ia pun meninggal dunia.
Berita soal meneninggalnya beberapa orang keluarga di pinggiran aliran sungai, bukan hanya menimpa keluarga Marna saja. Beberapa keluarga yang rumahnya juga berdekatan dengan sungai, juga mengalami hal yang sama. Rupanya setelah mereka meracun sungai, tidak ada air hujan yang membawa racun-racun itu hanyut. Justru racunnya mengendap, dan membawa sisanya sedikit demi sesikit mengalir ke bawah aliran sungai paling bawah.
Marna yang ketika itu baru saja pulang dari Turki, mendapat kabar dan informasi dari kepala desa dikampungnya bahwa di desa ibunya sedang terjadi musibah. Beberapa keluarga meninggal dunia, termasuk keluarganya.
Tak terasa air matanya mengalir, apabila mengingat kejadian yang menimpa keluarganya. Ia pun menjadi anak keramat, keturunan terakhir dari keluarganya saat ini.
Nenek Lahei memeluk Marna. orang tua tersebut coba menenangkan hatinya.
Sebuah pelukan bersambut kasih sayang. Entah apa yang dilakukan Lahei, orang tua itu semacam bernyanyi atau membaca mantra. Dengan tiba-tiba saja, Marna langsung merasakan rasa mengantuk yang berat, hingga kedua matanya tidak lagi kuasa untuk membuka mata.
Melihat Marna yang sudah tertidur pulas, Nenek Lahei memainkan sapeqnya untuk yang terakhir kali. Sebab setelah ini ia akan pergi jauh, dan tidak akan pernah kembali lagi ke rumah Marna.
Ayam hutan berkokok saling bersahutan. Suara owa-owa saling bernyanyi, kawanan burung beo serta burung kecil lainnya menari di udara. Beberapa burung lainnya mengoceh saling memamerkan suara indahnya. Begitu juga dengan berbagai serangga kecil lainnya, semuanya tidak mau kalah diam, ikut menyambut dinginnya suasana embun pagi dimana matahari mulai hendak terbit.
Marna yang merasakan dingin yang teramat luar biasa terbangun. Rupanya seluruh tubuhnya telah basah oleh embun.
Saat terbangun, Marna tidak mendapati siapa-siapa di sisinya kecuali sebuah mandau. Mandau yang cantik dengan kumpang kayu (sarung pedang) yang yang dilapisi dengan kulit buaya. Di bagian gagangnya ada bulu-bulu binatang, dengan kumpang yang dipenuhi dengan manik-manik yang berasal dari kuku dan gigi beruang.
Marna bergegas turun. Ia membawa Mandau itu dan meletakannya di atas meja kamar. Ia pun segera berwudhu. Jika sampai matahari terbit setinggi tombak, maka itu berada pada fase diantara dua tanduk setan. Artinya di saat waktu seperti itu, dalam agama yang baru dianutnya dilarang untuk salat.
Usai salat, tanpa sengaja ia melihat butiran beras yang dihambur di lantai. Marna mengambil butiran beras itu, namun anehnya butiran itu berbau mirip tape.
Marna mencoba mengingat kejadian malam tadi. Rasanya tidak ada yang aneh, kecuali ia yang tertidur di atas atap bersama Nenek Lahei.
Marna turun dari rumahnya, berniat untuk mandi ke sungai. Namun keganjilan demi keganjilan terlihat. Di halaman rumahnya, ia melihat ada bekas jejak roda sepeda motor. Marna yang penasaran coba memperhatikan ke sekeliling halaman. Apakah ada sesuatu yang aneh terjadi pada malam tadi, tanpa sepengetahuan dirinya.
Saat ia mencari tahu ke sekeliling halaman rumahnya, tiba-tiba saja di belakang terdengar suara seseorang yang menegurnya.
"Hai! Kamu!" Suara lelaki itu nadanya seperti ancaman.
Marnah menoleh, dan ia melihat ada 4 orang laki-laki berperawakan besar. Usia mereka rata-rata di atas 40 tahun. Postur serta wajah sangat detail menjelaskan umur mereka.
"Siapa?" tanya Marna. la melirik ke arah 4 lelaki itu, di setiap pinggang mereka terselip senjata tajam.
"Tidak usah terlalu banyak bertanya. Kamu, bisa bantu kami memasak?"
Sebagai wanita yang hidup sendiri tanpa tetangga, pilihan untuk lari dan pergi sepertinya bukanlah pilihan terbaik. Sebab ia tahu ke 4 orang lelaki itu adalah orang asing. Sekalipun ia lari, mereka pasti akan dengan mudah meangkapnya. Pilihan terbaik yang bisa ia ambil saat ini adalah pasrah, dan jangan melawan.
________________________________________________
CERITA INI BISA DIBELI PDFNYA VIA WA 085654123970 ATAU BISA DIBACA DI SINI👇
1 MANDAU UNTUK 9 KEPALA - Fatiha
Marna, keturunan terakhir keluarganya. Hidup di pedalaman Kalimantan, bahaya datang saat 9 orang per...
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah: