Kasus murid merokok yang ditampar kepala sekolah menjadi cermin hilangnya karakter dan wibawa pendidikan di Indonesia.
Penulis:
Prasetyo Budi
(jurnalis)
Pendidikan Indonesia kini kehilangan arah moral. Artikel ini mengulas pentingnya mengembalikan sistem pendidikan berkarakter seperti dulu melalui nilai-nilai Pendidikan Moral Pancasila dan refleksi dari kasus nyata murid yang menentang kepala sekolah.
Pendidikan Dulu: Menanamkan Nilai, Bukan Sekadar Nilai Ujian
Dulu, sekolah bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga tempat menempa budi pekerti.
Guru dihormati, bukan ditakuti.
Kedisiplinan, sopan santun, dan rasa hormat menjadi bagian dari kurikulum tak tertulis.
Murid yang terlambat, tidak hormat, atau melanggar aturan akan mendapat teguran keras — dan itu diterima sebagai bagian dari proses belajar menjadi manusia berkarakter.
Kini, pendidikan seolah kehilangan jiwanya.
Guru yang menegur murid bisa dilaporkan ke polisi.
Nilai akademik menjadi tolak ukur utama, sementara nilai moral dan etika terpinggirkan.
---
Kasus Nyata: Murid Merokok yang Ditampar Kepala Sekolah
Baru-baru ini, sebuah sekolah menengah di Jawa Tengah digemparkan oleh kasus murid yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Sang kepala sekolah, yang dikenal tegas dan disiplin, memanggil murid itu ke ruangannya. Setelah peringatan keras tak digubris, kepala sekolah menampar pipi murid tersebut — spontan, karena kecewa dan ingin mendidik.
Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Orang tua murid melapor ke polisi, media sosial ramai, dan kepala sekolah mendapat sanksi.
Ironisnya, murid yang bersalah justru dielu-elukan oleh teman-temannya, sementara wibawa guru runtuh seketika.
Kasus ini menjadi potret nyata betapa pendidikan kehilangan keseimbangannya antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab.
---
Pancasila dan Karakter yang Mulai Pudar
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dulu mengajarkan dasar-dasar perilaku manusia beradab:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa – Membentuk iman, takut berbuat dosa, dan berbuat jujur.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab – Menghormati sesama, tidak menghina, tidak merundung.
3. Persatuan Indonesia – Menumbuhkan semangat gotong royong dan nasionalisme.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan – Melatih musyawarah dan berpikir bijak.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia – Menanamkan kejujuran dan tanggung jawab.
Kini, nilai-nilai itu hanya tinggal teori di buku pelajaran.
Anak-anak lebih hafal rumus daripada makna sopan santun, lebih lancar mengetik di ponsel daripada mengucap salam dan permisi.
---
Ketika Guru Kehilangan Wibawa, Bangsa Kehilangan Arah
Guru seharusnya menjadi cermin moral bangsa.
Namun kini mereka sering berada di posisi sulit — antara idealisme mendidik dan tekanan sosial yang salah arah.
Ketegasan diartikan sebagai kekerasan, dan disiplin dianggap pelanggaran hak anak.
Padahal, tanpa ketegasan dan keteladanan, pendidikan tidak akan mampu membentuk karakter.
Ilmu tanpa moral hanya melahirkan generasi pintar tapi tak beretika.
---
Kembali ke Pendidikan Moral Pancasila
Solusinya jelas: kembalikan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sebagai roh pendidikan nasional.
Bukan sekadar mata pelajaran, tapi sistem nilai yang hidup di setiap ruang kelas.
Guru harus diberi wewenang moral yang kuat untuk mendidik — dengan cinta, disiplin, dan keteladanan.
Pendidikan harus kembali membangun manusia seutuhnya:
yang berilmu, beriman, dan berakhlak.
Bukan hanya cerdas dalam angka, tapi juga mulia dalam tindakan.
---
Penutup
Bangsa besar tidak dibangun dari kecerdasan semata, tapi dari karakter yang kuat.
Sudah saatnya Indonesia mengembalikan wibawa pendidikan melalui nilai-nilai Pancasila yang sejati.
Karena pendidikan bukan sekadar mencetak pekerja,
tetapi membentuk manusia berjiwa bangsa.