Indonesia adalah negeri yang selalu kita banggakan: kaya akan alam, berlimpah budaya, serta diwarisi sejarah panjang yang mengagumkan. Namun di balik kebanggaan itu, sebuah pertanyaan getir terus menggema: “Indonesia ku, ada apa denganmu?”
Kita hidup dalam ironi yang nyaris tak pernah usai. Negeri yang subur, yang konon tongkat kayu pun bisa tumbuh, justru masih menyisakan jutaan rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Demokrasi, yang mestinya menjadi ruang partisipasi rakyat, kerap bergeser menjadi panggung segelintir elit—lebih sibuk mempertahankan kekuasaan daripada memperjuangkan kesejahteraan bersama.
Di tengah derasnya arus teknologi dan informasi, kita pun dihadapkan pada krisis yang lebih berbahaya: krisis kepercayaan. Rakyat mulai lelah dengan janji-janji politik yang tak pernah ditepati. Sementara itu, masalah korupsi, kesenjangan sosial, dan kerusakan lingkungan seakan berputar dalam lingkaran setan yang tak berujung.
Namun harapan tidak boleh padam. Indonesia adalah rumah kita. Rumah ini hanya akan berdiri kokoh bila seluruh penghuninya mau menjaga, merawat, dan membangunnya dengan kejujuran serta tanggung jawab.
Indonesia ku, mungkin kau sedang sakit. Tapi anak-anakmu masih setia berdoa, masih berusaha agar engkau kembali sehat. Karena pada akhirnya, mencintaimu adalah kewajiban—meski sering kali yang kita hadapi hanyalah kekecewaan.
