Cerita nyata dari malam purnama yang berubah menjadi teror
Oleh: Prasetyo Budi
Bulan purnama menggantung sempurna di langit malam itu. Cahayanya memantul di aspal basah halaman kampus, membuat segalanya terlihat tenang—tapi di balik ketenangan itu, malam itu menyimpan sesuatu yang akan mengubah cara kami memandang tempat ini... selamanya.
Kami biasa nongkrong di parkiran kampus selepas kuliah, berbincang ringan sembari menyesap kopi dan mengisap rokok. Kali ini pembicaraan kami soal Pilkada Jakarta, debat santai khas mahasiswa. Tak terasa jam menunjukkan pukul 21.00.
Tapi ada yang ganjil malam itu—gerbang kampus masih terbuka. Padahal biasanya pukul 21.30 sudah dikunci rapat. Mungkin satpam sedang menikmati pembicaraan kami dari jauh, pikirku sambil tersenyum.
Di tengah hangatnya obrolan, salah satu teman kami, Cuy, merasa ingin buang air kecil.
> “Bro, kamar mandi udah dikunci belum ya?”
> “Udah pasti tutup. Sana aja ke bawah pohon beringin,” jawabku asal.
Pohon beringin itu berdiri sendiri di sudut halaman kampus, dekat gedung tua yang lama tak digunakan. Banyak cerita beredar tentang tempat itu, tapi kami anggap semua hanya mitos kampus. Cuy pun segera berlari ke sana.
Beberapa menit kemudian ia kembali, wajahnya santai, bahkan sempat tertawa-tawa. Tapi tak lama kemudian... semuanya mulai berubah.
Semilir angin menjadi dingin menusuk. Bau tajam dan busuk seperti bangkai menyusup di antara kami.
> “Woi Cuy, lu makan jengkol busuk apa gimana sih?” gerutu Broh sambil menutup hidung.
Bau itu semakin pekat. Seperti bau mayat yang direndam minyak selama berhari-hari. Aku merasa sesak dan mual. Dengan alasan ada praktikum pagi, aku pamit lebih dulu. Broh ikut. Tapi Cuy tak terlihat.
Kami menunggu di parkiran. Cuy tak kunjung datang. Tiba-tiba, terdengar suara dari arah tempat kami ngobrol.
> “Tolong! Toloong!!”
Kami berlari ke sumber suara. Kosong. Tak ada siapa pun. Bahkan suara jangkrik pun lenyap.
Sunyi... terlalu sunyi.
Lalu... sesuatu melintas.
Sosok hitam... tinggi besar... berbulu lebat, dengan mata merah menyala, melangkah pelan dari balik pohon beringin. Bayangannya menutupi cahaya bulan. Di belakangnya... bayangan putih, seperti wanita berambut panjang yang melayang tanpa suara.
Broh menjerit tertahan. Kami gemetar. Aku mengeluarkan ponsel dan menelepon Cuy. Terdengar dering... dari arah pohon beringin itu.
Kami dekati pelan. Deringnya semakin jelas. Dan saat sinar senter HP menyapu akar pohon tua itu, kami menemukan Cuy tergeletak tak sadarkan diri, wajahnya putih pucat, matanya tertutup rapat seolah dipaksa tidur.
Kami menyeret tubuhnya ke pos satpam. Setelah beberapa menit, dia siuman… tapi tak berbicara. Tak ada kata. Hanya ketakutan yang dalam di matanya.
---
Keesokan harinya...
Cuy akhirnya bicara. Suaranya gemetar, wajahnya belum sepenuhnya pulih.
“Waktu kalian jalan ke parkiran… aku sendirian. Tiba-tiba, ada makhluk tinggi besar... hitam, bulunya tebal, matanya merah… Dia berdiri di depanku. Lalu ada suara perempuan tertawa... dari balik pohon. Setelah itu... gelap.”
---
Pesan dari malam penuh teror:
Jangan pernah anggap sepele tempat-tempat yang dianggap “berpenghuni”.
Pohon beringin itu bukan sekadar pohon. Ia memiliki penunggu. Dan malam itu... kami mengusik rumahnya dengan sesuatu yang tak layak.
Mungkin… malam itu sang penjaga bangkit karena pohonnya dinajiskan.