Iklan

"Sosok Putih dari Simpang Karang"

Prasetyo Budi
Kamis, 19 Juni 2025 | Juni 19, 2025 WIB Last Updated 2025-06-18T19:19:32Z



Cerpen mistis berdasarkan kisah nyata Prasetyo Budi, Mentawai, 2015

Ramadhan pertama, tahun 2015.
Langit Kepulauan Mentawai diselimuti awan hitam. Hutan di sekitar Logpond PT Minas Pagai Lumber tenggelam dalam keheningan yang tak biasa. Angin malam menyelinap lewat celah dinding kantor kecilku—bangunan kayu yang menyatu dengan tempat tidurku. Di situlah aku tinggal dan bekerja, sebagai administrasi produksi.

Seharusnya, malam itu aku sudah menerima kiriman makan malam sekaligus sahur dari basecamp kilometer 18. Tapi hingga tengah malam, makanan tak kunjung datang. Barangkali mereka di sana juga sedang bersiap menyambut puasa, sehingga lupa mengirim jatah sahurku.

Jam menunjukkan pukul 00.12. Perut lapar, pikiran kalut. Aku ambil keputusan cepat—berangkat sendiri ke basecamp. Kuambil kunci mobil dinas, kubuka pintu, dan seketika aroma tanah lembab dari hutan basah menyeruak.

Mesin mobil meraung, lampu depan menembus gelap pekat jalan logging. Jalanan sempit, lengang, dikelilingi pohon-pohon tinggi yang menjulang seperti bayang-bayang hitam diam. Kabut turun perlahan, menyelimuti jalan dengan hawa dingin menusuk tulang.

Baru sekitar satu kilometer berjalan, tepat di simpang kecil yang disebut warga sebagai Simpang Bambu, sesuatu menghentikanku.

Seorang wanita berdiri diam di tengah jalan.

Sorot lampu mobil menangkap sosoknya dengan jelas: rambut ikal terurai hingga pinggang, kulit pucat, dan gaun putih lusuh yang... putihnya seperti menyala dalam gelap. Ia tidak bergerak. Seolah tahu aku akan berhenti.

Aku rem mendadak. Jantungku berdetak lebih cepat.

Kuturunkan kaca jendela. "Ada apa, Mbak?"

Ia mendekat dengan langkah ringan, nyaris tak terdengar. Suaranya pelan, serak, tapi halus.

"Maaf, Bang... boleh numpang?"

"Boleh... mau ke mana?"

"Ke atas..." jawabnya singkat.

Tanpa sadar, aku mengangguk. Ia masuk ke dalam mobil tanpa membuka pintu. Tapi entah kenapa... saat itu aku tak curiga.

Kami melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan… hanya ada diam.

Biasanya aku cukup cerewet kalau ada penumpang perempuan. Tapi kali ini, aku seakan... tak mampu bicara. Seperti lidahku kelu. Pikiran tumpul. Seolah aku dikendalikan.

Beberapa kali kuperhatikan dari sudut mataku… dia hanya menunduk. Rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya. Tapi aku... tak pernah benar-benar melihat wajahnya utuh.

Lalu... tiba-tiba.

"Berhenti di sini, Bang." ucapnya datar, menunjuk ke sebuah jalan bercabang—Simpang Karang, kilometer 12.

Aku rem perlahan. Ia membuka pintu—atau mungkin tidak? Karena aku tak mendengar apapun. Tak ada suara handle pintu, tak ada bunyi langkah keluar.

Dia... lenyap. Begitu saja.

Sepersekian detik kemudian, kesadaranku seperti ditarik paksa kembali. "Tunggu… saat naik tadi juga dia nggak buka pintu!" bisikku panik.

Tubuhku gemetar. Bulir keringat dingin merambat dari pelipis. Sekujur tubuhku merinding.

Aku injak gas. Mobil meraung, menerjang gelap. Sepanjang sisa perjalanan ke camp, aku tak berani menoleh ke kaca spion, takut sosok itu masih ada di belakang.

Sampai di basecamp, aku hanya terdiam di teras mess, tanpa berkata-kata. Kru dapur heran, tapi aku tak bisa menjelaskan.

Hingga hari ini, aku masih ingat betul: aku bersama "dia" selama hampir 30 menit. Di jalan logging yang sunyi. Di tengah malam Ramadhan pertama. Tapi kami tak berkata sepatah kata pun. Dan aku... tak pernah bisa menjelaskan kenapa aku tak merasa aneh saat itu.

Sejak malam itu, aku tak pernah lagi berkendara sendiri saat malam. Dan Simpang Karang kilometer 12, bagi semua pekerja logging, kini dikenal sebagai jalan yang tak boleh dilewati sendirian—terutama saat Ramadhan.

Konon, dulu… ada seorang wanita dari kampung sekitar yang tewas kecelakaan di jalan itu… malam pertama puasa.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • "Sosok Putih dari Simpang Karang"

Trending Now

Iklan