Oleh: Prasetyo Budi
Di tengah era transparansi dan keterhubungan digital seperti saat ini, pemerintah yang masih menutup diri dari jurnalis sejatinya sedang berjalan mundur. Ketertutupan terhadap pers bukan hanya cermin ketakutan terhadap kritik, tapi juga tanda lemahnya komitmen terhadap demokrasi.
Media massa bukan musuh negara. Pers adalah alat kontrol sosial yang sah, diakui undang-undang, dan dibutuhkan oleh rakyat. Wartawan bukan pemburu sensasi—mereka adalah penyambung lidah publik, penjaga akuntabilitas, dan penerang ruang-ruang gelap kekuasaan.
Namun sayangnya, masih ada pejabat publik yang bersikap defensif bahkan alergi terhadap pertanyaan media. Konfirmasi dihindari, informasi disembunyikan, dan kritik dianggap serangan. Inilah yang mengkhawatirkan. Sebab ketika suara pers dibungkam, demokrasi tak lagi punya fondasi.
Pers: Mata Rakyat, Rem Kekuasaan
Dalam negara demokratis, media adalah bagian dari sistem pengawasan publik. Tugas pers bukan hanya menyampaikan berita, tapi juga mengawal agar kekuasaan tidak digunakan semena-mena. Liputan investigatif, kritik editorial, hingga permintaan konfirmasi—semuanya adalah mekanisme kontrol yang sah.
Pemerintah yang antipers sebenarnya sedang menghindari pengawasan. Dan ketika kekuasaan tak diawasi, maka penyalahgunaan hanyalah soal waktu.
Keterbukaan Adalah Hak Rakyat
Perlu ditegaskan: keterbukaan informasi bukan hadiah dari pemerintah, tapi hak rakyat yang dijamin undang-undang.
UU No. 14 Tahun 2008 mewajibkan badan publik untuk menyediakan akses informasi kepada masyarakat.
UU No. 40 Tahun 1999 menjamin kemerdekaan pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
Jadi ketika seorang pejabat enggan memberi konfirmasi kepada wartawan, yang ia langgar bukan hanya etika pemerintahan, tapi juga konstitusi negara.
Pemimpin Takut Konfirmasi? Patut Dicurigai
Seorang pemimpin yang alergi terhadap media adalah pemimpin yang patut dipertanyakan. Apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu? Apakah dia tak siap bertanggung jawab atas kebijakannya?
Pemimpin sejati tak akan lari dari pertanyaan. Ia hadir menjawab, bahkan ketika pertanyaan itu tak nyaman. Karena dalam sistem demokrasi, jawaban bukan untuk wartawan—melainkan untuk rakyat.
Demokrasi Tanpa Pers, Hanya Ilusi
Ketika media dibungkam, masyarakat kehilangan mata dan telinga. Ketika konfirmasi dihindari, publik hanya akan disuguhi narasi sepihak. Ketika pemerintah tertutup, maka yang tumbuh adalah kebohongan, bukan kepercayaan.
Itulah sebabnya keterbukaan pemerintah terhadap media bukan sekadar hal administratif. Ia adalah nafas demokrasi. Tanpanya, negara akan tumbuh tanpa arah, kekuasaan berjalan tanpa kendali, dan rakyat hidup dalam ketidaktahuan.
---
Penutup
Jika pemerintah ingin dihormati, maka terbukalah. Jika ingin dipercaya, maka bersedialah dikritik. Karena pada akhirnya, pejabat bukan raja. Mereka digaji oleh rakyat, untuk melayani rakyat, dan harus terbuka pada suara rakyat—termasuk lewat pertanyaan para jurnalis.
"Tanpa keterbukaan, kekuasaan kehilangan legitimasi. Tanpa pers, rakyat kehilangan suara".
-