Ku sebut dia... Bua Ya.
Entah sejak kapan panggilan itu terasa begitu hangat di dada.
Dan dia... memanggilku Pak Aya.
Panggilan kecil dari masa lalu,
yang sampai kini masih bergema di hatiku —
meski waktu sudah berjalan begitu jauh.
Kami tumbuh bersama...
dari tanah kecil di ujung kampung,
berlari di pematang sawah, tertawa di bawah pohon jambu,
berbagi cerita tanpa tahu...
bahwa di antara tawa itu,
aku menyimpan rasa yang tak pernah berani kuucapkan.
Aku mencintainya sejak dulu,
sejak kami masih memakai seragam putih merah,
namun aku terlalu takut,
takut kehilangan persahabatan yang begitu indah.
Jadi, aku memilih diam.
Dan diam itu berubah jadi luka,
ketika suatu hari dia menikah...
bukan denganku, tapi dengan sahabatku sendiri.
Aku pergi jauh, ke barat pulau Sumatera,
menata hidup, menambal hati yang sobek,
membangun keluarga, punya dua anak,
tapi takdir rupanya belum selesai bercanda.
Rumah tangga itu pun runtuh setelah satu windu.
Aku pulang ke kampung dengan hati yang patah —
dan di sanalah,
takdir mempertemukanku lagi dengan Bua Ya.
Dia pun sudah sendiri.
Kami sama-sama menanggung sepi,
sama-sama berjuang untuk anak-anak.
Pertemuan itu...
membangunkan sesuatu yang lama tertidur.
Kami bicara, tertawa, saling menguatkan,
dan tanpa sadar... cinta lama tumbuh kembali.
Tapi cinta itu diuji lagi.
Ekonomi menuntutnya pergi ke Jakarta,
meninggalkan aku di kampung dengan janji dan rindu.
LDR… tiga huruf yang perlahan mengikis kepercayaan.
Kami sering bertengkar, saling menyalahkan,
saling menyakiti dengan kata-kata yang tak seharusnya.
Hingga satu hari... semuanya berakhir.
Tanpa pamit.
Tanpa kata maaf.
Hanya diam yang memisahkan.
Kini aku sendiri lagi...
menyimpan kenangan itu di dada.
Setiap kali aku menatap langit malam,
aku masih menyebut namanya dalam hati,
Bua Ya.
Aku tak tahu di mana dia sekarang,
mungkin sedang tersenyum di balik keramaian Jakarta,
atau menangis dalam sunyi yang sama denganku.
Yang kutahu, cinta ini belum mati.
Ia hanya berpindah tempat —
dari genggaman menjadi doa.
Semoga suatu hari nanti,
jika Tuhan berkehendak,
waktu akan berbalik...
dan aku bisa membahagiakannya —
bukan hanya di dunia,
tapi juga di akhirat.
(hening lagi... suara napas berat...)
Sampai saat itu tiba...
aku akan tetap memanggilnya dengan sebutan yang sama —
lembut, lirih, dan penuh rindu…
Bua Ya.


