Aku pernah mencintaimu
Dengan cara yang tak pernah kupelajari dari siapa pun,
hanya dari denyut hatiku sendiri
yang bergetar setiap kali namamu lewat di pikiranku.
Aku mencintaimu tanpa syarat,
tanpa harapan untuk dibalas,
tanpa rencana untuk dimiliki.
Hanya ingin kau tahu,
di suatu waktu yang sunyi,
ada seseorang yang menyebut namamu dalam doanya
tanpa perlu diketahui siapa.
Aku pernah menunggu,
bukan karena kau menjanjikan apa-apa,
tapi karena hatiku terlalu betah
di hadapan bayangmu yang tak pernah datang.
Dan dari penantian itulah aku belajar,
bahwa cinta tidak selalu berarti bersama,
kadang justru berpisah agar masing-masing bertumbuh
menjadi versi terbaik dari takdirnya.
Aku belajar bahwa cinta itu merelakan—
bukan kehilangan,
tapi membiarkan kebahagiaan memilih jalannya sendiri.
Sebab jika memang kau ditakdirkan bahagia tanpa aku,
maka biarlah aku menjadi doa
yang berdiri paling jauh
namun paling tulus mengiringi langkahmu.
Kini, aku tak lagi menunggu.
Bukan karena cinta ini telah padam,
melainkan karena aku telah berdamai
dengan kenyataan bahwa tidak semua yang kita cintai
harus kita genggam.
Sebagian cukup kita simpan di hati,
sebagai alasan untuk tetap lembut
di dunia yang sering kali kejam.
Dan jika suatu hari kita bertemu lagi,
biarlah senyum menjadi kata yang tak terucap.
Kau dengan takdirmu,
aku dengan tenangku.
Namun percayalah—
di setiap hembusan napas yang sempat menyebut namamu,
cinta ini tak pernah hilang,
hanya berubah menjadi doa yang panjang.