![]() |
Prasetyo Budi – Jurnalis & Pengamat Koperasi
Prasetyo Budi, penggagas Koperasi Desa Merah Putih, saat ditemui di salah satu desa dampingan. (Dok. QBeritakan)
“Koperasi bukan sekadar badan usaha. Ia adalah cara rakyat menyelamatkan dirinya dari ketergantungan terhadap pasar dan negara.”
– Bung Hatta
Kembali ke Desa, Membangun dari Bawah
Indonesia punya sejarah panjang tentang koperasi. Tapi dari sekian banyak koperasi yang berdiri, hanya sebagian kecil yang benar-benar hidup dan menghidupi anggotanya. Mayoritas tumbuh secara artifisial — dibentuk karena proyek, bukan karena kebutuhan. Di tengah realitas tersebut, muncullah gagasan Koperasi Desa Merah Putih, sebagai bentuk perlawanan ekonomi dari bawah.
“Kita tidak sedang menawarkan koperasi sebagai proyek, tapi sebagai gerakan. Koperasi Desa Merah Putih lahir dari keprihatinan atas kian menjauhnya ekonomi rakyat dari pusat kekuasaan dan pasar yang tak terkendali,” kata Prasetyo Budi, jurnalis sekaligus pengamat koperasi yang kerap turun langsung ke desa-desa.
Menurutnya, desa adalah titik awal dari krisis — sekaligus titik tolak kebangkitan. “Kalau kita mau membangun kedaulatan ekonomi, jangan mulai dari kota. Mulailah dari desa. Karena di sanalah akar kehidupan bangsa ini berada.”
Merah Putih: Simbol Politik Ekonomi Rakyat
Nama "Merah Putih" dalam koperasi ini bukan hanya ornamen simbolik. Ia mengandung makna ideologis: semangat kedaulatan, keberanian, dan keberpihakan pada rakyat kecil. “Ini bukan koperasi netral. Ini koperasi yang berpihak. Ia berpihak pada petani, nelayan, pedagang kecil, dan warga desa yang selama ini tak punya kuasa atas harga, distribusi, bahkan hasil kerja mereka sendiri,” ujar Prasetyo.
Ia menekankan bahwa koperasi semacam ini tidak bisa dibangun secara instan. Dibutuhkan proses panjang: konsolidasi sosial, pendidikan, hingga kesadaran kolektif.
“Koperasi sejati dibangun dari rasa percaya. Tanpa kepercayaan, koperasi hanya akan jadi formalitas,” tambahnya.
Tiga Pilar Membangun: Kesadaran, Kelembagaan, dan Kewirausahaan
Menurut Prasetyo, untuk membangun Koperasi Desa Merah Putih, setidaknya ada tiga tahap utama:
1. Kesadaran sosial – Warga desa perlu diajak berdialog: apa yang mereka butuhkan? Bagaimana cara mereka bertahan selama ini? Apa potensi yang selama ini diabaikan?
2. Pembentukan kelembagaan koperasi – Setelah kesadaran tumbuh, barulah koperasi dibentuk secara formal. Bukan sebaliknya. “Jangan bikin koperasi dulu baru cari orang. Itu resep kegagalan,” kata Prasetyo.
3. Membangun unit usaha produktif – Koperasi bukan sekadar tempat simpan pinjam. Ia harus jadi wadah produksi, distribusi, dan pemasaran. Mulai dari hal kecil: beras lokal, olahan pangan, atau produk kerajinan.
“Kalau dikelola dengan benar, koperasi bisa jadi pusat ekonomi desa. Ia menyerap tenaga kerja, mengolah hasil tani, dan mendistribusikannya langsung ke pasar tanpa perantara,” jelasnya.
Menjadi Holding Rakyat dan Menghubungkan Antar Desa
Kekuatan koperasi ini tak berhenti di satu desa. Justru kekuatan besarnya terletak pada jaringan antar koperasi desa. Prasetyo menyebutnya sebagai "holding rakyat" — bentuk kolektifisme modern yang bisa melawan dominasi korporasi besar.
“Bayangkan jika 100 koperasi desa bekerja sama. Mereka bisa membentuk rantai pasok sendiri, mendistribusikan produknya lintas wilayah, dan menentukan harga secara kolektif. Ini bukan utopia. Ini sedang kami bangun,” kata dia.
Digitalisasi: Senjata Baru Koperasi Desa
Era digital membuka peluang besar bagi koperasi. Dengan platform e-commerce, koperasi desa bisa menjual produk langsung ke konsumen tanpa harus tergantung pada tengkulak atau distributor besar.
“Koperasi digital bukan mimpi. Yang diperlukan adalah pendampingan teknologi, kemitraan, dan pelatihan,” ujarnya.
Ia mencontohkan beberapa koperasi yang sudah memakai aplikasi pembukuan digital, marketplace lokal, hingga layanan keuangan mikro berbasis aplikasi. “Desa jangan ditinggalkan dalam revolusi digital. Kalau perlu, kita percepat agar mereka bisa jadi pemain, bukan korban.”
Tantangan: Antara Politik, Budaya Konsumtif, dan Manajemen
Namun perjalanan ini tentu tidak mulus. Prasetyo mengakui banyak tantangan yang dihadapi koperasi desa.
“Yang paling berat justru datang dari dalam: kurangnya manajemen, konflik antaranggota, dan ketergantungan pada bantuan luar,” ujarnya. Selain itu, masih banyak desa yang mengalami intervensi politik lokal yang menyandera koperasi sebagai alat kepentingan jangka pendek.
Tantangan lain adalah budaya konsumtif dan individualisme yang tumbuh akibat sistem ekonomi yang tak menanamkan nilai kebersamaan. “Kita harus menyemai kembali semangat gotong royong. Ini kerja kebudayaan, bukan sekadar teknis,” tambahnya.
Penutup: Jalan Panjang yang Layak Ditempuh
Koperasi Desa Merah Putih adalah jalan panjang — tapi itulah satu-satunya jalan jika kita ingin ekonomi Indonesia tumbuh dari bawah, bukan tergantung pada investasi asing atau utang luar negeri.
“Kita sudah terlalu lama menggantungkan masa depan ekonomi pada kekuatan eksternal. Saatnya kita kembali ke akar: ke desa, ke rakyat, ke koperasi,” tutup Prasetyo.