Oleh: @Sejarah Cirebon
QBeritakan.com –
Di balik catatan sejarah Kesultanan Mataram, tersembunyi kisah seorang perempuan pemberani yang kisah hidupnya menembus zaman. Ia bukan bangsawan, bukan pula prajurit. Ia hanya seorang wanita desa, penjual rokok rumahan. Namun keberaniannya menolak tunduk pada kekuasaan, membuat namanya abadi dalam naskah Babad Tanah Jawi: Roro Mendut.
---
Cinta, Harga Diri, dan Rokok Kretek
Roro Mendut hidup di masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1645 M), tepatnya di wilayah Keadipatian Pati. Kecantikannya tersohor hingga ke istana, membuat para petinggi kerajaan jatuh hati. Salah satunya adalah Adipati Pragola, penguasa Pati kala itu. Namun lamaran sang Adipati ditolak mentah-mentah oleh Roro Mendut.
Alasannya sederhana namun bermakna dalam: ia telah memiliki kekasih hati, Pranacitra, seorang pria sederhana yang jauh dari kemewahan istana.
Penolakan itu rupanya menyulut bara dendam. Tak hanya Adipati Pragola yang kecewa, seorang panglima perang ternama Kesultanan Mataram, Tumenggung Wiraguna, juga mencoba meminangnya. Lagi-lagi, Roro Mendut menolak dengan tegas.
---
Hukuman Pajak dan Kretek yang Memikat
Penolakan itu membuat Tumenggung Wiraguna naik pitam. Ia memerintahkan Adipati Pragola untuk menjatuhkan hukuman pajak berat kepada Roro Mendut, berharap wanita itu menyerah dan akhirnya menerima lamarannya.
Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Roro Mendut dengan cerdik menjual rokok kretek racikannya sendiri. Ia menjilat sendiri lem pada rokok yang dibuatnya, membuat para pembeli – terutama para pria – merasa mendapat "sentuhan langsung" dari sang pujaan desa. Rokoknya dikisahkan mampu membangkitkan daya khayal, hingga diburu meski harganya mahal.
Berbekal kecerdikan dan pesona alaminya, Roro Mendut berhasil melunasi seluruh pajak yang dijatuhkan padanya. Ia pun menjelma menjadi salah satu perempuan terkaya di kampungnya. Tapi justru di puncak keberhasilan itu, tragedi menantinya.
---
Tragedi Berdarah: Cinta yang Tak Takluk oleh Kekuasaan
Iri dan dendam membutakan hati Tumenggung Wiraguna. Ia merasa Pranacitra adalah penghalang cintanya pada Roro Mendut. Maka disusunlah rencana jahat: menghabisi sang kekasih hati.
Dalam sebuah pertarungan yang tak seimbang, Pranacitra ditikam berkali-kali oleh keris Tumenggung Wiraguna. Roro Mendut yang menyaksikan kejadian itu, berusaha melindungi kekasihnya dengan tubuhnya sendiri.
Dalam upayanya menjadi tameng cinta, Roro Mendut ikut tertusuk keris. Ia wafat dalam pelukan Pranacitra, kekasih yang ia perjuangkan hingga tetes darah terakhir.
---
Warisan Seorang Perempuan Merdeka
Kematian Roro Mendut bukanlah akhir dari kisahnya. Ia menjadi simbol perlawanan perempuan atas kekuasaan yang menindas. Dalam sejarah, ia bukan sekadar penjual rokok – ia adalah simbol keberanian, kesetiaan, dan kemerdekaan perempuan di masa feodalisme mengakar kuat.
Kini, kisah tragisnya terus hidup sebagai pengingat: bahwa cinta sejati dan harga diri, kadang menuntut pengorbanan nyawa.
---
Editor: Tim QBeritakan
Ilustrasi: Midjourney AI / Lukisan Tradisional Jawa
---
> "Lebih baik hidup merana bersama kekasih hati, daripada bergelimang harta tanpa cinta sejati." – Roro Mendut