Oleh Prasetyo Budj
“Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah. Kisah nyata atau tragedi, hanya sutradara yang tahu...”
Lirik dari lagu "Panggung Sandiwara" yang dipopulerkan oleh Ahmad Albar (God Bless) ini lebih dari sekadar karya seni. Ia adalah potret reflektif dari realitas sosial yang semakin kabur batas antara kebenaran dan kepura-puraan. Tapi apakah benar dunia ini hanya sekadar "panggung sandiwara"? Mari kita telusuri secara luas dan dalam.
---
1. Dari Panggung Teater ke Panggung Kehidupan
Konsep bahwa hidup adalah panggung sudah lama digaungkan oleh filsuf dan sastrawan dunia.
William Shakespeare dalam drama As You Like It:
“All the world’s a stage, and all the men and women merely players.”
Di budaya Jawa, dikenal istilah "urip iku mung mampir ngombe" (hidup hanya singgah untuk minum) – menggambarkan kehidupan yang singkat dan simbolik.
Dalam konteks ini, setiap individu dianggap memainkan peran, entah sebagai orang tua, pemimpin, rakyat, tokoh agama, artis, atau aktivis. Pertanyaannya: peran itu jujur atau hanya topeng?
---
2. Sandiwara Sosial dalam Psikologi Modern
Menurut psikologi sosial:
Erving Goffman, dalam bukunya "The Presentation of Self in Everyday Life", menjelaskan bahwa manusia hidup dalam dua ruang:
Front stage: Area publik, di mana kita berperan sesuai ekspektasi orang lain.
Back stage: Area privat, di mana kita bisa menjadi diri sendiri.
Dalam dunia yang serba media sosial, banyak orang hidup permanen di ‘front stage’, menampilkan kesuksesan, kebaikan, dan kemewahan — meski aslinya mungkin tidak demikian.
---
3. Sandiwara di Dunia Politik dan Kekuasaan
Dalam politik, sandiwara bukan hal baru. Banyak pemimpin tampil seolah merakyat, dekat dengan rakyat, namun kebijakannya justru menjauh dari kepentingan publik.
Contoh nyata:
Janji kampanye yang hanya manis di bibir.
Sandiwara pencitraan saat bencana atau menjelang pemilu.
Elite politik yang saling berseteru di depan publik, namun akrab di belakang layar.
Media massa pun sering ikut andil sebagai "panggung", menggiring opini publik sesuai arah naskah besar.
---
4. Era Digital: Sandiwara Tanpa Batas
Dengan hadirnya media sosial, setiap orang kini punya panggungnya sendiri:
Instagram penuh dengan gaya hidup glamor.
TikTok dan YouTube menampilkan kebahagiaan berlebihan.
Banyak "influencer" membentuk realita semu — kehidupan palsu yang tampak sempurna.
Ini menimbulkan krisis identitas dan tekanan sosial. Banyak orang merasa gagal karena membandingkan dirinya dengan 'peran' orang lain yang sebenarnya juga sedang bersandiwara.
---
5. Refleksi Spiritual: Dunia Ini Ujian, Bukan Sekadar Panggung
Dalam ajaran agama, kehidupan dunia disebut sebagai:
"Ujian" (Al-Qur’an, QS Al-Mulk: 2):
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu siapa yang paling baik amalnya.”
"Permainan dan senda gurau" (QS Al-Hadid: 20)
Artinya, kehidupan ini memang penuh dinamika, drama, tawa, tangis — tapi tujuannya bukan bersandiwara, melainkan untuk mengambil pelajaran dan menanam kebaikan.
---
6. Jadi, Apakah Semua Sandiwara?
FAKTA:
Ya, banyak realitas sosial, politik, ekonomi, dan bahkan hubungan antarmanusia yang penuh kepura-puraan.
Namun, tidak semua orang bersandiwara.
Masih banyak yang tulus, jujur, dan setia pada nilai-nilai luhur.
Kita tidak bisa menyalahkan panggung. Tapi kitalah yang memilih menjadi aktor seperti apa: aktor tulus atau aktor munafik.
---
7. Penutup: Pilih Peranmu Sendiri
Kalau dunia ini memang panggung, jadilah pemeran utama yang menyampaikan pesan kebaikan.
Tulis naskah hidupmu dengan kejujuran, jalankan dialogmu dengan cinta, dan tutup adeganmu kelak dengan senyum bahagia karena tak pernah berpura-pura.
Karena dunia boleh jadi sandiwara,
tapi ketulusan adalah satu-satunya peran yang abadi.
---
Prasetyo Budj adalah penulis, pengamat sosial-budaya, dan pegiat literasi yang percaya bahwa kata-kata bisa menjadi lentera dalam kegelapan sandiwara dunia.