Jadwal dan Hasil Piala Asia U17 2025
Jadwal dan Hasil Piala Asia U17 2025
Selengkapnya
00:15
|
30 April 2025
Oman
-
DPR Korea
-
00:15
|
11 April 2025
Korea Republic
1
Yemen
0
00:15
|
11 April 2025
Afghanistan
0
Indonesia
2
00:15
|
12 April 2025
Oman
2
DPR Korea
2
01:15
|
12 April 2025
IR Iran
1
Tajikistan
3

Iklan

CINTA YANG TAK PERNAH BISA KUPELUK

Prasetyo Budi
Sabtu, 14 Juni 2025 | Juni 14, 2025 WIB Last Updated 2025-06-14T17:11:48Z


Oleh: Prasetyo Budi | Ada nama yang tak pernah bisa kusebut lantang. Ada wajah yang tak pernah hilang dari ingatanku—sejak aku masih anak-anak, hingga rambut di pelipisku mulai memutih. Dan ini kisahku… tentang dia. Cinta pertamaku. Cinta terpanjangku. Cinta yang tak pernah bisa kupeluk.

Aku lahir dan besar di sebuah kampung kecil di Lampung. Hidup kami sederhana, tapi cukup. Tak banyak yang istimewa dari tempat itu… kecuali satu hal—dia.

Kami satu sekolah sejak kelas satu SD. Dia gadis kecil mungil yang selalu dikepang dua, rambutnya rapi, senyumnya manis, dan lesung pipitnya muncul tiap kali dia tertawa. Tapi lebih dari sekadar penampilan, ada sesuatu darinya yang membuat jantungku berdebar—bahkan ketika aku belum mengerti apa itu cinta.

Setiap pagi aku berharap duduk sebangku dengannya. Setiap hari aku mencatat apa yang dia katakan. Kadang aku pura-pura meminjam penghapus hanya agar bisa berbicara. Dan saat dia tak masuk sekolah, hari-hariku terasa sepi… seperti langit tanpa matahari.

Cinta itu tumbuh bersamaku. Dari SD ke SMP, dari SMP ke SMA. Kami selalu satu sekolah, meski jarang sekelas. Tapi cukup dekat untuk melihatnya… cukup dekat untuk mencintainya… Namun selalu terlalu jauh untuk bisa memilikinya.

Satu kenangan yang paling membekas dalam hidupku terjadi saat kami duduk di bangku SMA. Hari itu dia sedang sakit. Badannya lemas, wajahnya pucat. Tapi dia tetap memaksakan diri untuk berangkat sekolah, karena katanya, dia tak mau tertinggal pelajaran.

Mendengar itu, entah dari mana keberanian itu muncul. Aku datang pagi-pagi sekali ke rumahnya dengan sepeda ontel tua milik ayahku. Saat dia keluar rumah, langkahnya pelan dan tatapan matanya masih letih.

Aku hanya berkata singkat, “Ayo, aku anter sekolah hari ini.”

Dia terdiam sejenak, lalu tersenyum. Senyum itu… masih kuingat sampai sekarang.

Sepanjang perjalanan, dia duduk di belakangku. Hanya kami berdua, menyusuri jalan kampung yang sunyi, melewati sawah dan pepohonan. Udara pagi begitu segar, dan di antara denting rantai sepeda, aku bisa mendengar detak jantungku sendiri—cepat, gugup, tapi bahagia.

Hari itu… aku merasa menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Membonceng gadis yang kucintai sejak kecil. Bukan untuk pergi bermain, bukan untuk jalan-jalan, tapi menuju sekolah bersama, berangkat pagi dan pulang sore. Sesuatu yang tampak sepele bagi dunia, tapi sangat berarti bagiku.

Aku ingin waktu berhenti. Ingin jarak tempuh itu dua kali lipat lebih jauh. Karena di atas sepeda itu, untuk sesaat, aku merasa memilikinya—meski hanya sebagai teman seperjalanan.

Tapi tentu… waktu terus berjalan. Dan aku… tetap diam. Tak pernah berani bicara tentang isi hatiku.

Beberapa tahun setelah lulus SMA, dia menikah. Dan yang paling menyakitkan, dia menikah dengan sahabatku sendiri.

Aku hadir di pernikahan mereka. Aku berdiri di sana, membawa senyum palsu. Tapi dalam diriku, hatiku porak-poranda. Malam itu aku menangis sejadi-jadinya. Bukan karena kehilangan… tapi karena aku tak pernah berjuang. Karena aku hanya berani mencintai dalam diam.

Waktu berlalu. Aku pun menikah. Hidup berpindah. Tapi entah kenapa, namanya tetap tinggal. Dia seperti pohon yang pernah tumbuh di tanah hatiku dan tak pernah bisa benar-benar ditebang.

Dua puluh dua tahun kemudian… Hari itu Lebaran. Aku pulang kampung. Kini aku sendiri—ditinggal istriku yang memilih menikah lagi. Aku pikir, aku akan kembali menjalani hidup dengan sepi yang biasa. Tapi takdir ternyata belum selesai menuliskan ceritaku.

Aku bertemu dia lagi. Dan kali ini… dia juga sendiri.

Kami berbincang. Canggung di awal. Tapi perlahan hangat. Seperti api kecil yang lama padam dan kini kembali bernyala. Kami bicara soal hidup, soal anak-anak, soal luka masing-masing. Dan seperti dulu… aku kembali jatuh cinta. Tapi kali ini lebih dalam. Lebih dewasa. Lebih nyata.

Dia tak lagi gadis kecil berlesung pipit. Tapi kini dia adalah wanita kuat yang bertahan sendirian. Dan aku… hanya pria yang menyesal karena dulu terlalu diam.

Aku ingin memuliakannya. Ingin menebus waktu. Ingin membuatnya ratu dalam hidupku. Tapi hidup tak semudah itu.

Kondisiku sedang terpuruk. Tak ada rumah, tak ada harta, hanya cinta dan niat yang tulus. Tapi cinta saja tidak cukup untuk membangun masa depan. Perlahan, kami kembali menjauh. Bukan karena saling membenci… Tapi karena keadaan memaksa kami untuk memilih jalan masing-masing.

Kini aku sendiri lagi. Tapi aku berbeda. Aku tidak lagi berharap memilikinya. Aku hanya ingin dia bahagia. Di manapun, dengan siapapun. Dan aku tetap mencintainya… dalam doa yang tak pernah putus.

Setiap kali melewati jalan yang dulu kulalui dengan sepeda ontel, aku selalu terdiam. Menatap langit, lalu tersenyum kecil. Karena cinta sejati… bukan tentang memiliki, tapi tentang menjaga dalam ingatan dan mendoakan dalam kesunyian.

Jika kau membaca ini… dan kau tahu ini tentangmu…

Aku ingin kau tahu: Cinta itu masih ada. Tidak mati. Tidak punah. Ia hanya diam… di sudut hati yang tak pernah benar-benar ditinggalkan.

“Beberapa cinta memang tak ditakdirkan untuk bersatu. Tapi bukan berarti ia tak pernah benar-benar ada.”
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • CINTA YANG TAK PERNAH BISA KUPELUK

Trending Now

Iklan