RAHASIA RANJANG SANG PERMAISURI

QBeritakan.com
Sabtu, 13 April 2024 | April 13, 2024 WIB Last Updated 2024-04-13T14:47:46Z



QBeritakan.com - (Sebuah Cerpen dengan setting masa Majapahit-Karya:Daniel Agus)

“Andai sang waktu bisa diputar ulang,
dan aku bisa memilih takdir jalan hidupku sendiri,
maka aku ingin terlahir sebagai rakyat jelata,
bukan Sang Permasuri Puri Wilwatikta Majapahit.
(Paduka Sori Sri Sudewi)

Emban Damayanti terhenyak, seakan tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana mungkin kata-kata bernada keputusasaan itu bisa meluncur dari Sang Permaisuri Agung Puri Wilwatikta-Majapahit, Paduka Sori Sri Sudewi, permaisuri raja terbesar Majapahit, baginda Hayam Wuruk. Semua wanita mengirikan kecantikannya yang tiada banding, semua pembesar laki-laki Wilwatikta dan terlebih para senopati muda Majapahit diam-diam selalu menunggu kehadiran Sang Permaisuri hanya untuk bisa melihat kecantikannya yang memukau dan menerbangkan ke dalam angan mereka masing-masing.

“Benar, Bibi. Kalau aku bisa memilih takdirku, akau ingin terlahir sebagai rakyat jelata saja, bukan putri pewaris tahta Majapahit Dyah Wiyat Rajadewi dan Kudamerta Wijayarajasa Hyang Parameswara,dan terlebih bukan pula permaisuri raja yang paling berkuasa di seluruh wilayah Majapahit, Hayam Wuruk”

“Duugg…” kembali jantung emban Damayanti seperti memukul-mukul oleh rasa kejut yang amat sangat yang segera menjelmakan rasa prihatin juga di dalam sanubarinya.

Emban Damayanti memang hanya seorang emban atau abdi di puri agung Wilwatikta Majapahit, tetapi emban Damayanti adalah emban kinasih dari Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi, ibunda dari Sang Permaisuri Paduka Sori Sri Sudewi. Emban Damayanti sebetulnya tak ubahnya sosok Ibu kedua bagi Sri Sudewi, dialah yang sejak kecil momong dan menimang Sri Sudewi karena Dyah Wiyat Rajadewi diminta kakaknya Dyah Gitarja Tribhuwana Tunggadewi untuk ikut membantu Prabu Putri Majapahit itu di istana. Tak heran bila ketika pulang dari istana Wilwatikta, Dyah Wiyat Rajadewi lebih sering menemukan putrinya Sri Sudewi tertidur di bilik belakang istana, bilik emban Damayanti. 
Sampai dengan Sri Sudewi dewasa dan akhirnya menjadi permaisuri raja Hayam Wuruk kedekatan itu tidak pernah terputus, emban Damayanti diminta menemaninya di puri Wilwatikta istana Majapahit.

Emban Damayanti lah tempat berkeluh-kesah yang sangat dipercayai oleh Paduka Sori Sri Sudewi, seperti dia mempercayai dirinya sendiri. Tak ada yang tersembunyi dalam kehidupan permaisuri agung Majapahit itu dihadapan emban Damayanti, dari masalah keterlibatannya dalam pemerintahan, sampai masalah asmara dan bahkan ranjang Sang Permaisuri diceritakannya kepada emban pengasuhnya itu yang telah dianggapnya sebagai sosok Ibu yang kedua. 
Emban Damayanti sendiri seiring dengan perjalanan usianya, sangat bisa menempatkan dengan baik posisinya, kapan dirinya berperan sebagai seorang abdi dan kapan dibutuhkan oleh junjungannya itu sebagai seorang Ibu.
Dibiarkannya Paduka Sori Sri Sudewi menghabiskan air mata dan akhirnya tertidur di pangkuannya.Tak habis-habisnya emban Damayanti mengagumi kejelitaan permaisuri Majapahit yang kini tengah tertidur di pangkuannya itu, walaupun sudah mempunyai seorang putri, namun kejelitaan dan keagungannya sebagai seorang putri tidak memudar. 
Namun siapa pernah menyangka kejelitaan dan sosoknya yang sering membuat para pangeran dan senopati menghkhayakan diri sang permaisuri Majapahit itu, ternyata tidak mampu menggetarkan dan memancing gairah baginda Hayam Wuruk.

Hanya emban Damayanti seorang yang mengetahui betapa remuk dan tidak bahagianya Sang Permaisuri Majapahit. Di malam pengantin, sampai beberapa hari dan bahkan sampai beberapa minggu baginda Hayam Wuruk sama sekali tidak menyentuhnya, dan ketika malam yang ditungu itu datang, yang terjadi bukanlah seperti yang dibayangkan oleh Sang Permaisuri. Raja Hayam Wuruk masuk ke peraduan dalam keadaan mabuk setelah menggelar pesta di istana, dalam keadaan mabuk itulah hasrat baginda berkobar.
Sang Permaisuri berusaha melayani dan mengerti keadaan raja yang berkuasa itu, namun hatinya menjerit kesakitan ketika di tengah percumbuan yang disebut dengan penuh gairah bukan nama dirinya, tetapi nama putri dari Sunda Galuh Dyah Pitaloka Citraresmi. 
Kejadian itu kembali terulang, namun lagi-lagi baginda Hayam Wuruk dalam keadaan mabuk bisa timbul hasratnya kepada Sang Permaisuri dan kesakitan itu kembali pula terulang, bukan nama permaisuri Paduka Sori Sri Sudewi yang disebut dalam percumbuan yang membakar itu, namun Dyah Pitaloka.
“Bibi, aku tak sanggup menjalani semua ini” keluh permaisuri Majapahit itu berurai air mata menahan rasa yang bergejolak dalam dada,sedih, kecewa, marah, dan terhina.

Emban Damayanti, seperti biasanya membiarkan junjungannya itu menumpahkan semua sakit hati dan menguras air matanya dahulu, kemudian perlahan dan penuh kasih mulai menghibur dan juga memberikan saran-sarannya. “Gusti Putri, bibi bisa mengerti dan bisa pula merasakan semua penderitaan batin yang Gusti Putri alami. Tetapi Gusti Putri mesthi ingat pesan para sesepuh Majapahit, sejak awal Pahom Narendra sudah mengingatkan kepada Gusti Putri Sri Sudewi bahwa pernikahan dengan Prabu Hayam Wuruk adalah usaha para sesepuh Majapahit untuk menyelamatkan kerajaan akibat peristiwa Pabubat yang menyebabkan mahapatih Gadjah Mada raib dari istana dan baginda Hayam Wuruk seperti kehilangan ingatan. Menjadi tugas Gusti Permaisuri lah untuk bisa memulihkan akibat rasa sakit kehilangan Dyah Pitaloka itu ”
Mendengar nasehat emban kinasih yang sudah dianggap sebagai Ibunya yang kedua itu, permaisuri Paduka Sori Sri Sudewi kembali menemukan dan menerima sebagai seorang puteri yang harus dikorbankan, walaupun dalam kesakitan puteri yang amat elok parasnya itu harus menjalaninya. “Oh, Dewata kuatkan hambamu menjalani takdir hidup ini”

Hidup tanpa cinta dan hanya dijadikan pelampiasan Baginda disaat mabuk akhirnya mematikan segenap rasa kewanitaan Sang Permaisuri, walaupun raganya cukup kuat namun jiwanya yang merana membuatnya sering melamun dan menyediri. Melihat perubahan besar pada diri permaisurinya, akhirnya baginda Hayam Wuruk menyadari juga kesalahannya.
“Maafkan Kanda, Dinda Sudewi. Bukan maksud Kanda seperti tidak menganggap kehadiran Dinda permaisuri. Namun aku benar-benar tak sanggup, Dinda. Aku tak sanggup memperlakukan Dinda layaknya suami-isteri, karena engkau adikku. Hubungan darah kita terlalu dekat, Ibunda kita berdua, bunda Sri Gitarja Tribhuana Tunggadewi dan bunda Dyah Wiyat Rajadewi adalah saudara kandung, kakak-adik, sama-sama putera pendiri Majapahit, Dinda”

Alasan baginda Hayam Wuruk berdasarkan hubungan darah itu rupanya bisa mengurangi sedikit kekecewaan Sang Permaisuri Majapahit.
“Trus apa yang terjadi setelah sang prabu Hayam Wuruk mengutarakan alasannya selama ini telah menganggap Gusti Putri seperti tidak ada? Apakah akhirnya Gusti Puteri dan Sang Prabu bisa menjalani kehidupan sebagai suami-isteri dengan menyenangkan dan penuh cinta?” bertanya emban Damayanti dengan tidak sabar lagi ingin mendengar kabar bahagia dari junjungannya itu.

Mendengar pertanyaan dari emban kinasihnya itu beberapa saat lamanya Permaisuri Agung puri Wilwatikta Majapahit itu tak bisa berkata-kata. Hanya air matanya yang akhirnya tak mampu ditahan lagi, jebol menumpahkan segenap kesedihan yang sekian lama diendapkan.
“Kami telah bersepakat, Bibi”
“Bersepakat…?”
“Benar. Kangmas Prabu Hayam Wuruk menghendaki di depan mata rakyat Mapahit, kami berdua adalah pasangan paling berbahagia di dunia, sementara di dalam puri Wilwatikta Majapahit, istana kami berdua, ranjang kami terpisah…”
“Duh, Gusti Putri…”emban Damayanti pun tak kuasa pula menahan tangisnya. Membayangkan kehidupan macam apa yang akan dilalui junjungannya itu. Benar-benar subuah pengorbanan yang tiada tara. Di luar tembok istana para pangeran dan raja-raja taklukan Majapahit memimpikan bisa bersanding dengan permaisuri nan rupawan itu, namun di dalam Puri Wilwatikta, Sri Paduka Sori Sri Sudewi adalah seorang permaisuri yang tak pernah dianggap.

Emban Damayanti dengan penuh kasih merengkuh Permaisuri Agung puri Wilwatikta itu ke dalam pelukannya. Dua perempuan dengan derajat bagai bumi dan langit itu saling bertangisan, tak ada lagi sekat derajat dan pangkat. Emban Damayanti rasanya ingin bisa mengambil semua penderitaan junjungannya yang sejak kecil berada dalam asuhannya itu.
***

Tanpa terasa enam belas tahun telah berlalu. Seorang dara nan cantik sedang berlatih memainkan jurus-jurus ilmu pedang tingkat tinggi. Gerakannya lemah gemulai seperti orang menari, namun kesiur sabetan pedangnya mampu menggugurkan dedaunan di taman.
Sri Paduka Sori Sri Sudewi dengan takjub dan bangga memandangi putrinya, Kusumawardani. Melihat putrinya itu, dia seperti melihat dirinya di waktu muda.
“Putriku, meskipun kelahiranmu bukan dari buah cinta Ayah-Bundamu. Selalu kupajatkan doa untuk masa depanmu yang gemilang. Engkaulah calon pewaris tahta Majapahit” berkata Permaisuri Majapahit di dalam hatinya.
Namun takdir kehidupan yang suram belum sepenuhnya bergeser dari kehidupan Permaisuri Agung Majapahit itu. Pada suatu pagi emban Damayanti membawa kabar tak sedap tentang baginda Hayam Wuruk. Walau kabar itu disampaikan kepada Sang Permaisuri dengan bisik-bisik, namun akibatnya seperti dua buah sambaran petir yang dengan telak menyambar Paduka Sori Sri Sudewi.
“Kabar tak sedap pertama, diam-diam ternyata baginda telah mengambil selir di ujung timur wilayah Mapajapahit, tepatnya di Blambangan. Kabar tak sedap kedua, anak dari selir itu terlahir laki-laki dan berusia sekitara 15 tahun. Itu artinya, selama 15 tahun belakangan baginda telah membohongi Gusti Puteri, dan arti yang kedua, peluang Gusti Kusumawardani untuk duduk di atas tahta Majapahit akin tipis, karena Baginda Hayam Wuruk tentulah cenderung anak laki-laki sebagai penerus tahta…”

Paduka Sori Sri Sudewi wajahnya bagai dijilat api, kemarahan teramat sangat telah membakar jantungnya. Dengan gesit Permaisuri Agung Majapahit itu segera berlari meninggalkan emban setianya.
“Gusti Puteri hendak kemana…?”
“Ibunda Dyah Wiyat Rajadewi…”
“Untuk..?”
“Perang…!”

Kelak sejarah mencatat, bermula dari rahasia ranjang permaisuri yang mengisahkan derita seorang permaisuri ini, memicu lahirnya perang perebutan kekuasaan paling berdarah dalam sejarah Majapahit. Kusumawardani dengan suaminya Wikramawardana menggempur kekuatan Bhre Wirabhumi yang lebih dikenal dengan Minak Jingga putra selir Hayam Wuruk di Blambangan. Perang besar selama lima tahun yang dicatat dalam sejarah sebagai Perang Paregreg akhirnya menjadi penyebab hancurnya kerajaan terbesar di Nusantara ini.***
Note:
- Pahom Narendra (Bathara Sapta Prabu) adalah semacam dewan penasehat raja,
teridiri dari 7 orang kerabat raja.
-Peristiwa Bubat terjadi pada tahun 1357. Menjadi peristiwa paling kelam dalam sejarah Majapahit, meyebabkan maharaja Linggabuana dan pengiringnya semua terbunuh.Calon permaisuri Dyah Pitaloka bunuh diri dan raja Hayam Wuruk mengalami depresi berkepanjangan. (Banyak konspirasi politik di istana Majapahit menggunakan peristiwa Bubat untuk menjatuhkan mahapatih Gadjah Mada)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • RAHASIA RANJANG SANG PERMAISURI

Trending Now