QBeritakan.com - Tidak banyak yang tahu tentang mandau,selain sebagai senjata tradisional Suku Dayak di Kalimantan,Indonesia.
Di dalam kehidupan Orang Dayak,mandau bukan saja sebagai sebuah senjata dari besi semata,namun ia di yakini memiliki aura sebagai pendamping yang disebut panekang hambaruan ( pemberi motivasi dan semangat,spirit ).
Mandau merupakan senjata utama dari sekitar puluhan jenis senjata tradisional Suku Dayak yang mematikan.
Menurut Tjilik Riwut ( Kalimantan Membangun : Alam dan Kebudayaan,1993:309 ),nama asli mandau dalam Bahasa Sangen ( Dayak Kuno ) adalah Mandau Apang Birang Bitang Ayun Kayau yang artinya kurang lebih secara etimologis adalah “ senjata yang dipakai kaum lelaki yang dipunyai oleh kaum kayau/para pemenggal kepala ”(-pen) di zaman dulu.
Sebuah mandau tidak digunakan secara sembarangan mengingat fungsionalitasnya dalam setiap upacara adat merupakan salah satu prasyarat.
Ia tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti alat untuk memotong kayu,menebas semak dan lain-lain.
Sebagai gantinya,biasanya Suku Dayak mengunakan parang biasa yang bentuknya mirip dengan mandau yang disebut Pisau Ambang.
Karena kedudukannya yang tinggi dibandingkan dengan senjata-senjata tradisional suku Dayak lainnya,ia juga tidak dipakai untuk meneror orang,atau mengancam orang lain.
Konon,apabila sebilah mandau telah ditarik dari kumpang/sarung-nya,ia akan menuntut darah,dan itu mutlak dipenuhi. Dalam proses pembuatannya,mata mandau diambil dari batu besi dari gunung yang berusia puluhan abad yang dikenal dengan sanaman mantikei.
Konon menurut cerita turun-temurun,ada dua tempat di Kalimantan Tengah di mana besi tersebut dapat ditemukan,yang pertama di Wilayah Kecamatan Sanaman Mantikei,Kabupaten Katingan; dan kedua,di daerah Montallat, Kabupaten Barito Utara. Besi dari kedua tempat tersebut dikenal pula sebagai besi yang beracun sehingga apabila melukai kulit akan berujung kepada kematian.
Melalui proses panjang,sebuah mandau ditempa dan dilengkapi dengan gagang yang terbuat dari tanduk rusa dan diberi ornamen bulu burung atau rambut manusia serta aneka ukiran yang mengandung unsur pelemahan semangat atau penunduk musuh yang dalam Bahasa Dayak Ngaju disebut parunduk.
Begitu pula pada bagian sarungnya,selain dilengkapi tali pengikat dari anyaman rotan pilihan,biasanya diikatkan juga dengan aneka benda fetis yang disebut penyang sangkalemo.
Perlengkapan lain yang kecil namun tak kalah penting adalah langgei kuai atau sejenis pisau kecil yang bertangkai sepanjang kurang lebih 20—30cm mengikuti panjang mata mandau. Langgei ini memegang fungsi sebagai senjata cadangan dalam keadaan darurat.
Ia memerankan fungsi lebih ‘akrab’,di mana secara fungsionalitas boleh digunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan hal-hal biasa ( bukan dalam konteks sakral ).
Pada masa lalu,peran sebuah mandau menjadi sangat vital. Mandau merupakan simbol dari sebuah kekuasaan.
Kekuasaan tersebut terkait erat dengan mitologi Dayak bahwa semakin banyak kepala musuh yang dipenggal,maka akan semakin tinggi status sosial seseorang yang disebut sebangai mamut menteng.
Seseorang yang mamut menteng dapat secara aklamasi menjadi seorang pemimpin. Hal ini bukan tanpa dasar mengingat kegigihannya dalam membela komunitas sukunya agar selamat dari berbagai serangan yang memunahkan.
Berkaitan dengan fungsi utama sebagai senjata perang di masa lalu,mandau warisan leluhur diyakini suku Dayak sebagai penjelmaan diri sang empunya. Artinya, ia dapat menjelma secara fisik di tengah-tengah peperangan atau sebaliknya,tidak kasat mata (nonvisual) sehingga dikenal dengan “mandau terbang”.
Ia bisa dikontrol oleh yang empunya untuk melakukan serangan balasan,jadi hanya bersifat reaktif atas sesuatu yang terjadi. Ia tidak bersifat aktif dan agresif.
Bagi masyarakat suku Dayak, mandau menyisakan sejuta misteri yang tak terpecahkan hingga kini.
Konon di masa lalu sebuah mandau seolah memiliki aura,seolah sesuatu yang dapat dipelihara,disuruh atau tunduk atas kekuasaan pemiliknya.
Ia seolah dapat menjadi ‘kawan’ yang sangat patuh dan sangat jarang mencelakai ‘tuannya’. Hal ini mungkin secara asumtif berkait erat dengan patei-ongoh atau kiprahnya di masa lalu,sehingga semuanya diyakini sebagai “budak yang harus tunduk atas perintah tuannya” atau “kawan setia yang tahu membalas budi”.
Mandau juga dapat menjadi sarana pengobatan,misalnya air cucian asahannya dapat mengobati semacam alergi gatal-gatal yang disebut “kalalah” atau “kicas-kihal” (sejenis tulah/kutukan).
Rahayu.
Adhie Khumaidi
Di dalam kehidupan Orang Dayak,mandau bukan saja sebagai sebuah senjata dari besi semata,namun ia di yakini memiliki aura sebagai pendamping yang disebut panekang hambaruan ( pemberi motivasi dan semangat,spirit ).
Mandau merupakan senjata utama dari sekitar puluhan jenis senjata tradisional Suku Dayak yang mematikan.
Menurut Tjilik Riwut ( Kalimantan Membangun : Alam dan Kebudayaan,1993:309 ),nama asli mandau dalam Bahasa Sangen ( Dayak Kuno ) adalah Mandau Apang Birang Bitang Ayun Kayau yang artinya kurang lebih secara etimologis adalah “ senjata yang dipakai kaum lelaki yang dipunyai oleh kaum kayau/para pemenggal kepala ”(-pen) di zaman dulu.
Sebuah mandau tidak digunakan secara sembarangan mengingat fungsionalitasnya dalam setiap upacara adat merupakan salah satu prasyarat.
Ia tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti alat untuk memotong kayu,menebas semak dan lain-lain.
Sebagai gantinya,biasanya Suku Dayak mengunakan parang biasa yang bentuknya mirip dengan mandau yang disebut Pisau Ambang.
Karena kedudukannya yang tinggi dibandingkan dengan senjata-senjata tradisional suku Dayak lainnya,ia juga tidak dipakai untuk meneror orang,atau mengancam orang lain.
Konon,apabila sebilah mandau telah ditarik dari kumpang/sarung-nya,ia akan menuntut darah,dan itu mutlak dipenuhi. Dalam proses pembuatannya,mata mandau diambil dari batu besi dari gunung yang berusia puluhan abad yang dikenal dengan sanaman mantikei.
Konon menurut cerita turun-temurun,ada dua tempat di Kalimantan Tengah di mana besi tersebut dapat ditemukan,yang pertama di Wilayah Kecamatan Sanaman Mantikei,Kabupaten Katingan; dan kedua,di daerah Montallat, Kabupaten Barito Utara. Besi dari kedua tempat tersebut dikenal pula sebagai besi yang beracun sehingga apabila melukai kulit akan berujung kepada kematian.
Melalui proses panjang,sebuah mandau ditempa dan dilengkapi dengan gagang yang terbuat dari tanduk rusa dan diberi ornamen bulu burung atau rambut manusia serta aneka ukiran yang mengandung unsur pelemahan semangat atau penunduk musuh yang dalam Bahasa Dayak Ngaju disebut parunduk.
Begitu pula pada bagian sarungnya,selain dilengkapi tali pengikat dari anyaman rotan pilihan,biasanya diikatkan juga dengan aneka benda fetis yang disebut penyang sangkalemo.
Perlengkapan lain yang kecil namun tak kalah penting adalah langgei kuai atau sejenis pisau kecil yang bertangkai sepanjang kurang lebih 20—30cm mengikuti panjang mata mandau. Langgei ini memegang fungsi sebagai senjata cadangan dalam keadaan darurat.
Ia memerankan fungsi lebih ‘akrab’,di mana secara fungsionalitas boleh digunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan hal-hal biasa ( bukan dalam konteks sakral ).
Pada masa lalu,peran sebuah mandau menjadi sangat vital. Mandau merupakan simbol dari sebuah kekuasaan.
Kekuasaan tersebut terkait erat dengan mitologi Dayak bahwa semakin banyak kepala musuh yang dipenggal,maka akan semakin tinggi status sosial seseorang yang disebut sebangai mamut menteng.
Seseorang yang mamut menteng dapat secara aklamasi menjadi seorang pemimpin. Hal ini bukan tanpa dasar mengingat kegigihannya dalam membela komunitas sukunya agar selamat dari berbagai serangan yang memunahkan.
Berkaitan dengan fungsi utama sebagai senjata perang di masa lalu,mandau warisan leluhur diyakini suku Dayak sebagai penjelmaan diri sang empunya. Artinya, ia dapat menjelma secara fisik di tengah-tengah peperangan atau sebaliknya,tidak kasat mata (nonvisual) sehingga dikenal dengan “mandau terbang”.
Ia bisa dikontrol oleh yang empunya untuk melakukan serangan balasan,jadi hanya bersifat reaktif atas sesuatu yang terjadi. Ia tidak bersifat aktif dan agresif.
Bagi masyarakat suku Dayak, mandau menyisakan sejuta misteri yang tak terpecahkan hingga kini.
Konon di masa lalu sebuah mandau seolah memiliki aura,seolah sesuatu yang dapat dipelihara,disuruh atau tunduk atas kekuasaan pemiliknya.
Ia seolah dapat menjadi ‘kawan’ yang sangat patuh dan sangat jarang mencelakai ‘tuannya’. Hal ini mungkin secara asumtif berkait erat dengan patei-ongoh atau kiprahnya di masa lalu,sehingga semuanya diyakini sebagai “budak yang harus tunduk atas perintah tuannya” atau “kawan setia yang tahu membalas budi”.
Mandau juga dapat menjadi sarana pengobatan,misalnya air cucian asahannya dapat mengobati semacam alergi gatal-gatal yang disebut “kalalah” atau “kicas-kihal” (sejenis tulah/kutukan).
Rahayu.
Adhie Khumaidi