Tabuik Adalah Pertunjukan Budaya Hibrid Masyarakat Pariaman yang Terbentuk dari Unsur budaya Syi’ah, Sunni dan Minangkabau

QBeritakan.com
Rabu, 05 Juli 2023 | Juli 05, 2023 WIB Last Updated 2023-07-05T05:47:56Z


QBeritakan.com - Pertunjukannya menyajikan beberapa penggalan peristiwa kematian Husain yang diwujudkan dalam bentuk arak-arakan, kedukaan, kegembiraan, kegarangan, perkelahian antar pendukung Tabuik, pelarungan tabuik ke laut, dan secara khusus atraksi mengoyak dua artefak tabuik yang difantasikan sebagai peti mati Husain.

Pertunjukan ini didukung oleh gandang tasa; secara khusus musik ini berperan penting membangun suasana kegembiraan, pemicu kegarangan dan perkelahian.

Tabuik berasal dari ritual kedukaan Islam Syi’ah yang dibawa oleh bekas tentara Inggris dari Sipahi (Sepoy) Tamil penganut Syi’ah, dari Bengkulu ke Pariaman pada awal abad ke-19 (1825- 1830).

Tabuik mengalami hibridisasi dengan Sunni dan budaya Minangkabau pada awal abad ke-20 (1908-1909), sehingga dimensi pertunjukan berubah menjadi budaya baru bersifat ambivalensi.

Sejak 1980-an, Tabuik dijadikan penunjang utama kepariwisataan Pariaman, pertunjukan berorientasi hiburan atau tontonan dengan melibatkan berbagai genre seni pertunjukan.

Tabuik merupakan pertunjukan ritual yang memiliki kaitan erat dengan peristiwa kematian Husain bin Ali (cucu Nabi Muhammad).

Jejaknya hingga kini masih tampak dari ritus-ritus yang disajikan dalam bentuk arak-arakan dan atraksi untuk mengekspresikan
beberapa penggalan peristiwa kematiannya.

Secara khusus, pada akhir ritual dipertunjukkan dua tabuik gadang (besar), setinggi 10-14 meter, kemudian melarungkannya ke laut di sore hari. Ritual ini dilakukan sejak awal hingga paroh pertama bulan Muharam setiap tahunnya.

Tabuik yang dilafalkan oleh orang-orang Pariaman dan Minangkabau secara luas, berasal dari kata tabut (bahasa Arab) yang berarti peti atau peti kayu (Assegaf, 2010: 63; Zubaedi, 2008: 49;lihat juga Asril, 2013: 310-311; Muchtar, 2014: 45-46).

Kaitannya dengan ritual Syi’ah menurut Grunebaum (1951: 89), tabut adalah peti mati (coffin) yang mempresentasikan kembali peti jenazah Husain.

Di Pariaman Tabuik yang dimaksudkan juga merupakan ritual yang disajikan dalam bentuk arak-arakan dengan menggunakan tabuik yang disimbolkan sebagai citraan atau khayalan peti jenazah Husain.

Tabuik merupakan pengaruh dari ritual penganut Islam Syi’ah yang dibawa oleh orang-orang Sipahi (sepoy Tamil) bekas tentara
Inggris penganut Syi’ah dari Bengkulu pada awal abad ke-19.

Para penganut Syi’ah, melakukan ritual ini sebagai penghormatan terhadap Husain yang meninggal dalam peperangan di Karbala pada
61 Hijriyah yang bertepatan pada 10 Muharam (680 M) (Brockelmann, 1956: 76; Sjarifoedin, 2011: 490; Ansary, 2012: 128).

Husain oleh penganut Syi’ah merupakan tokoh yang diagungkan dan diposisikan sebagai imam. Imam adalah orang yang memiliki kualitas
spiritual keislaman yang sangat tinggi, memperoleh ilham ilahi dan terjaga dari dosa dan khilaf. Pada masa-masa sulit, imam sangat
diperlukan membawa komunitas keluar dari krisis.

Penganut Syi’ah menempatkan imam sebagai pemimpin tertinggi dan hanya menetapkan satu orang imam dalam satu masa atau periode. (Ansary, 2012: 132-133; Montgomery Watt, 1990: 69).

Begitu hormatnya para penganut Syi’ah, sehingga kematian Husain diperingati sebagai ritual utama, seperti yang banyak dilakukan oleh penganut Syi’ah di Timur Tengah, Asia Selatan, dan negara-negara penganut Syi’ah lainnya (Aghaie, 2005: 7).

Penderitaan Husain bagi penganut Syi’ah menjadi inspirasi ritual kedukaan.

Para penganut Syi’ah, melalui ritual tabut dan ta’ziyah, mengekspresikan kesedihan dengan meratap dan memukul-mukul dada (chest beating), membaca teks elegi dalam suatu majlis dengan perasaan sedih (Abbas, 2005: 151, 153-154;Wolf, 2000: 84), dan yang lebih ekstrim melukai dan menyakiti tubuh mereka (Dahri, 2009: 70).

Ritual peringatan kematian Husain secara umum di Indonesia disebut Asyura. Asyura ditandai dengan adanya aktivitas masyarakat
memasak bubur, seperti bubur suro dan bubur merah putih (Sjarifoedin, 2011: 489).

Warna merah melambangkan darah Husain, sedangkan warna putih melambangkan roh suci Husain (Iqbal, 2006:167).

Asyura termasuk ritual berukuran kecil atau sederhana dengan aktivitas ritual umumnya dilakukan dalam ruangan, berupa pertunjukan resitasi kisah Husain di Karbala, syair atau teks ungkapan kedukaan, dan menyantap bubur suro (Sjarifoedin, 2011: 489-490).

Penyebaran Asyura di beberapa tempat di Indonesia mengalami perubahan bentuk dan maknanya. Ada yang dimaknai dengan bentuk kedukaan dan sebaliknya dengan suasanakegembiraan atau gabungan keduanya.

Di Pariaman, ritual ini berkembang menjadi pertunjukan yang bersifat kolosal dengan menyajikan beberapa prosesi dan atraksi yang dilakukan di arena atau lapangan terbuka dan di jalan-jalan utama Kota Pariaman.

Setiap ritus menggambarkan suasana yang berbeda, seperti khidmat, kegarangan dan kemarahan (menyajikan perkelahian), tetapi lebih dominan suasana kegembiraan.

Perbedaan cara melakukan ritual itu menimbulkan berbagai pertanyaan.

Misalnya, mengapa terjadi perbedaan tafsir dan cara ungkap antara Tabuik di Pariaman dengan para penganut Syi’ah di atas? Bukankah Tabuik berasal dari ritual Syi’ah? Adapun pertanyaan paling mendasar diajukan adalah: Mengapa ritual Tabuik yang akar geneologinya berasal dari ritual Syi’ah bisa hidup dan berkembang dalam masyarakat Pariaman? Sementara hingga kini, masyarakat Pariaman adalah penganut Islam Sunni bermazhab Syafi’i (Sjarifoedin, 2011: 506; Samad, 2003: 82).

Dilihat dari aspek doktrin, ideologi, dan praktik ritual antara Syi’ah dan Sunni, keduanya memiliki banyak perbedaan daripada persamaannya, bahkan ada yang berlawanan.

Penganut Sunni tidak menempatkan Husain sebagai imam, sebagaimana yang dilakukan oleh penganut Syi’ah.

Husain dihormati karena ia keturunan Nabi Muhammad atau ahlul bait (Sjarifoedin, 2011: 490).

Perbedaan ideologi itu berpengaruh pada cara mereka menghormati Husain, bahkan lebih jauh dari itu, menjadi sesuatu yang mustahil sebuah ritual yang berasal dari Syi’ah bisa diterima dan berkembang dalam masyarakat Sunni Pariaman—karena Sunni tidak memiliki tradisi dan pengalaman ritual yang terinspirasi dari kematian Husain.

Akan tetapi, faktanya pertunjukan Tabuik telah menjadi tradisi berumur panjang dalam masyarakat Pariaman. Bahkan, Tabuik berkembang dari aspek pertunjukannya menjadi semakin meriah dengan menyertakan beberapa genre seni pertunjukan, yang difungsikan
untuk mendukung suasana kemeriahan, terutama sejak masuknya pariwisata dalam Tabuik pada awal 1980-an.

Berkembangnya pertunjukan Tabuik, fakta ini memunculkan pula dugaan-dugaan hingga premis, bahwa antara Syi’ah dan Sunni telah melakukan penawaran-penawaran atau negosiasi atas gagasan dan ideologi terhadap Tabuik, yang bermuara terjadinya percampuran (hibriditas) ideologi, doktrin, dan budaya timbal balik.

Percampuran itu diperkirakan tidak mudah diperlukan waktu yang lama, karena masing-masingnya memiliki pandangan dan acuan sendiri-sendiri yang secara bersama-sama dipahami dan dipraktikkan.

Untuk mencari titik temu kesamaan pandangan dan kesepakatan timbal balik, diduga mengalami berbagai benturan dan hambatan, hegemoni dan resistensi, dominasi dan subordinasi. 
 
‘Pertemuan’ ideologi dan praktik ritual tidak hanya terjadi pada Syi’ah dan Sunni saja.
 
Tampak bahwa Tabuik juga dilegitimasi oleh budaya (adat) Minangkabau yang dianut oleh masyarakat Pariaman.

Dalam setiap pertunjukannya unsur pranata sosial adat Minangkabau, seperti: ninik mamak (pemuka adat), alim ulama, cerdik pandai, tokoh masyarakat selalu dilibatkan. Unsur pranata sosial adat merupakan representasi budaya Minangkabau.

Keterlibatan mereka menjadi bagian yang penting dalam pertunjukan Tabuik.

Aspek-aspek yang berkaitan dengan keabsahan dan konflik yang terjadi selama pertunjukan Tabuik berada di bawah pengawasan mereka.

Pertunjukan Tabuik menjadi fakta adanya budaya baru dalam masyarakat Pariaman.

Premis telah terjadi hibridisasi antara budaya Syi’ah, Sunni, dan Minangkabau tambah menguat.

Tentu saja tarik menarik antarunsur budaya pembentuk Tabuik juga tidak bisa dipandang remeh.

Semakin menarik bagi penulis, bagaimana masyarakat Pariaman memaknai atau memperlakukan Tabuik sebagai ‘ruang’ baru yang cenderung dinamis itu hingga menjadi budaya yang mereka pelihara dan dipertunjukkan hingga sekarang.

Lebih Lengkapnya Dwonload PDF nya di  TABUIK: PERTUNJUKAN BUDAYA HIBRID
MASYARAKAT KOTA PARIAMAN, SUMATRA BARAT

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Tabuik Adalah Pertunjukan Budaya Hibrid Masyarakat Pariaman yang Terbentuk dari Unsur budaya Syi’ah, Sunni dan Minangkabau

Trending Now