Sejarah Perang Padri dan Keterkaitannya Dengan Kerajaan Pagaruyung di Sumatera barat

QBeritakan.com
Kamis, 20 Juli 2023 | Juli 20, 2023 WIB Last Updated 2023-07-20T17:30:30Z

QBeritakan.com - “ Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai Pahlawannya”, dan “Jangan sekali-kali kita melupakan Sejarah”, itulah ucapan Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno pada pidatonya.

Ungkapan ini menggambarkan bahwa betapa pentingnya sejarah dalam kelanjutan bangsa, dan perjuangan dalam mewujudkan kemerdekaan dari tangan penjajah merupakan bukti bagi bangsa, dibalik pejuangan terukir nama pendiri bangsa. Karena kemerdekaan NKRI tidak akan terlepas dari kenangan akan jasa-jasa para Pahlawan yang telah merebut dan mempersembahkan kemerdekaan seperti yang kita rasakan saat ini.

Begitu pentingya bagi kita anak bangsa untuk selalu mengingat sejarah bangsa ini bahwa sanya tidak mudah perjalanan bangsa ini hingga saat sekarang kita yang saat ini sedang menikmati dari hasil jerih payah, keringat dan cucuran darah para pendahulu kita. 

Nah Kali ini Admin Q akan mengajak sahabat semua untuk Mengingat Sejarah Perang Padri di Sumatera barat. 

 



Perang Padri yaitu peperangan yang berjalan di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di daerah Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 sampai 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akhir suatu peristiwa pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.

Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sbg Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang dikata Kaum Hukum budaya di daerah Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Norma budaya yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga anggota hukum hukum budaya matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak mempunyainya kesepakatan dari Kaum Hukum budaya yang padahal telah memeluk Islam bagi meninggalkan norma budaya tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.

Sampai tahun 1833, perang ini dapat dituturkan sbg perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Hukum budaya dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Hukum budaya yang mulai terdesak, berkeinginan bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Hukum budaya berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada penghabisannya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.

Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari daerah konflik.

Latar belakang


Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang bersedia memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh paling tertarik lalu ikut mendukung kehendak ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.

Harimau Nan Salapan yang belakang sekali berkeinginan Tuanku Lintau bagi mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Hukum budaya bagi meninggalkan beberapa norma budaya yang bertentangan dengan nasihat agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak mempunyai kata sepakat selang Kaum Padri dengan Kaum Hukum budaya. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa beliau hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.
 

Keterlibatan Belanda


Sebab terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Hukum budaya yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Dunia Bagagar berkeinginan bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Dunia Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat akad dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung. Akhir suatu peristiwa dari akad ini, Belanda menjadikannya sbg tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, yang belakang sekali mengangkat Sultan Tangkal Dunia Bagagar sbg Regent Tanah Datar.

Keterlibatan Belanda dalam perang sebab diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Cairan oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Yang belakang sekali pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff bagi memperkuat posisi pada daerah yang telah dikuasai tersebut.


Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff sukses memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Yang belakang sekali Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun daya dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Dunia dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat yang belakang sekali meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar sebab terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat dan yang belakang sekali dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.

Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah sukses menguasai beberapa daerah di Luhak Agam di selangnya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Yang belakang sekali mereka juga telah mendiami Biaro dan Kapau, namun sebab luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang. 

 

Gencatan Senjata


Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga paling menyulitkan Belanda bagi menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda menempuh residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol bagi berdamai dengan maklumat "Akad Masang" pada tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi sebab disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti  

 

Perang Diponegoro.


Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan daya dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Hukum budaya. Sehingga penghabisannya muncul suatu kompromi yang dikenali dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Hukum budaya Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang manfaatnya hukum budaya Minangkabau berdasarkan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berdasarkan kepada Al-Qur'an.
 

Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sbg pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sbg Imam di Bonjol. Yang belakang sekali menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.

Pada masa kepemimpinannya, beliau mulai menyesali beberapa tingkah laku yang dibuat kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah cairan.


Peperangan jilid kedua


Setelah habisnya perang Diponegoro dan pulihnya daya Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba bagi menundukan Kaum Padri. Hal ini paling didasari oleh kehendak kuat bagi penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di daerah pedalaman Minangkabau (darek). Sampai zaman ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin mengatakannya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi bersedia mengambil alih atau monopoli.

Yang belakang sekali bagi melemahkan daya lawan, Belanda melanggar akad yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Bijak Sikek yang merupakan salah satu daerah yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Yang belakang sekali bagi memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenali dengan nama Fort de Kock.

Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock


Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau sukses ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kemudi Belanda. Namun Tuanku Lintau sedang tetap melakukan perlawanan dari daerah Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan bermacam serangan terhadap Kaum Padri selang tahun 1831–1832, beliau memperoleh tambahan daya dari pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun yang belakang sekali Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditaruh di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga yang belakang sekali Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak sukses menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak bersedia beliau tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sbg orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan yang belakang sekali direkrut kembali menjadi tentara Belanda.

Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah akbar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, bagi mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Yang belakang sekali Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh daya Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada penghabisan tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari daerah luhak dan bertahan di Bonjol.

Yang belakang sekali pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa daerah yang sedang menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan jumlah korban di pihak Belanda. Namun dalam pertempuran di Cairan Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akhir suatu peristiwa dihujani peluru. Yang belakang sekali beliau ditingkatkan ke atas kapal bagi diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya yang belakang sekali dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Perlawanan bersama

Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi selang Kaum Hukum budaya dan Kaum Padri. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (1803–1823), dapatlah dituturkan sbg perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.

Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau; dituturkan mempunyai sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Dunia Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sbg Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Yang belakang sekali Belanda mengasingkannya ke Jakarta, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Dunia Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia-Belanda juga tidak bersedia mengambil risiko bagi menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar yang belakang sekali diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.

Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara semuanya masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang dikata "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud bagi menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang bagi berjualan dan menjaga keamanan, masyarakat Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Yang belakang sekali Belanda berdalih bahwa bagi menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sbgnya memerlukan biaya, maka masyarakat diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.
Serangan ke Bonjol

Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 berkunjung ke Padang bagi melihat dari dekat babak operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, beliau melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout bagi segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang tidak sewenang-wenang bagi mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, sebab kesetiaan masyarakat Luhak Agam sedang disangsikan dan mereka paling mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras bagi segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut berkeinginan tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.

Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri yang belakang sekali sukses memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir seluruh perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan bagi konsolidasi guna penyerangan yang belakang sekali.

Yang belakang sekali selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan bagi memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berupaya menanamkan pengaruhnya pada beberapa daerah yang dekat dengan kubu pertahanannya.

Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan bagi kembali mengadakan serangan besar-besaran bagi menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua anggota yang bangkit masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.

Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah sukses mencapai tepi Batang Gantiang, yang belakang sekali menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya mempunyai satu jalan ketat menuju Sipisang, daerah yang sedang dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit selang pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berjalan selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai jumlah korban di kedua belah pihak. Penghabisannya dengan daya yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, yang belakang sekali daerah ini dibuat menjadi sbg kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.

Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol sedang paling lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan bagi dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sbg front terdepan dari Alahan Panjang yaitu daerah Padang Lawas yang secara penuh sedang dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda sukses menguasai daerah ini.

Yang belakang sekali pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bangkit menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.

Pasukan Belanda sukses mendekati Bonjol dalam jarak agak hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, yang belakang sekali mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Yang belakang sekali dengan memakai houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda jumlah menjadi korban.

Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan daya yang akbar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran penghabisan yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
 

Benteng Bonjol


Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenali dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan arus yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berwujud bidang empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di selang kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu akbar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam paling rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.

Semak belukar dan hutan yang paling lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah bagi diamati oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan tidak sewenang-wenang oleh Kaum Padri bagi membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.


Pengepungan Bonjol


Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh G. Kepper.

Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan bagi melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, sebab justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang jumlah diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari bermacam negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Seluruh bertekad bulat bagi mempertahankan markas akbar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup luhur atau mati syahid.

Usaha bagi melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada anggota depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi. Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum sukses menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.

Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan jumlah menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi yang belakang sekali posisinya digantikan oleh Mayor Prager.

Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya bagi memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.

Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sbg usaha terakhir bagi penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan sukses membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali sukses memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan jumlah sekali korban jiwa di masing-masing pihak.

Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jakarta yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, yang belakang sekali pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius bagi memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol bagi kesekian kalinya. Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.

Yang belakang sekali Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837) dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian akbar terdiri dari bermacam suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di selangnya yaitu Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dst-nya. Yang belakang sekali mempunyai juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.

Dari Jakarta didatangkan terus tambahan daya tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.

Serangan yang bergelombang serta berturut-turut dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam akbar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sbg komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan penghabisannya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara semuanya dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan ditemani oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
 

Perundingan


Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun sebab telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan sedang siap bagi bertempur kembali.

Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang bagi mengajak berunding. Yang belakang sekali Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dituturkan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlangsung. Tuanku Imam Bonjol dipersilakan bagi datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda bagi menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan yang belakang sekali Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi yang belakang sekali terus dibawa ke Padang, bagi yang belakang sekali diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, beliau dipindahkan ke Cianjur, dan pada penghabisan tahun 1838, beliau kembali dipindahkan ke Ambon. Yang belakang sekali pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.
 

Penghabisan peperangan



Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol sukses ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini sedang berlanjut sampai penghabisannya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan penghabisannya peperangan ini dianggap berakhir yang belakang sekali Kerajaan Pagaruyung dikuatkan menjadi anggota dari Pax Neerlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.
 

Warisan sejarah


Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen bagi mengenang tuturan peperangan ini. Yang belakang sekali sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sbg daerah wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.

Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia yang belakang sekali menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sbg Pahlawan Nasional.
 

Rujukan

 

  • Cuisinier, Jeanne (1959). "La Guerre des Padri (1803-1838-1845)". Archives de Sociologie des Religions. Centre National de la Recherche Scientifique.
  • a b Sejarah. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 978-979-746-801-9.
  • Azra, Azyumardi (2004). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.
  • Ampera Salim, Zulkifli (2005). Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer. Citra Hukum budaya istiadat Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.
  • a b Nain, Sjafnir Aboe (2004). Memorie Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM.
  • Raffles, Sophia (1830). Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: J. Murray.
  • a b Amran, Rusli (1981). Sumatra Barat sampai Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
  • G. Kepper, (1900). Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee.
  • Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus. Indisch Magazijn 12/1, No. 7. 1844:116.
  • H. M. Lange (1852). Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845). ‘S Hertogenbosch: Gebroeder Muller. I: 20-1
  • a b Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.
  • P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). Nieuw Nederlands Biografisch Woordenboek. Deel 2, Bladzijde 1148.
  • Nederlandse Staatscourant (10 Juni 1825).
  • Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah (2009). Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, Bab 6: Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0
  • Munasifah (2007). Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1
  • Mardjani Martamin (1984). Tuanku Imam Bonjol. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
  • Zakariya, Hafiz (2006). Islamic reform in colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh al-Hadi. ProQuest. ISBN 0-542-86357-X.
  • Nederlandse Staatscourant (17-06-1833).
  • Said, Mohammad (1961). Dari halaman2 terlepas dalam catatan tentang tokoh Singamangaradja XII. Waspada.
  • Abdullah, Taufik (1966). Hukum budaya dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia. No. 2, 1-24.
  • Nederlandse Staatscourant (29-05-1833).
  • Pusat Sejarah Militer Tingkatan Darat Indonesia (1964). Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia. Staf Tingkatan Bersenjata.
  • J.C. van Rijnveld (1841). De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
  • Abdul Qadir Djaelani, (1999), Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah.
  • a b Boelhouwer, J.C. (1841). Herinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. Den Haag: Erven Doorman.
  • a b Tempointeraktif, 15 Oktober 2007. Dari Catatan Harian Bonjol.
  • Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis. hlm. 59-183.
  • Tate, D. J. M. (1971). The Making of Modern South-East Asia: The European conquest. Oxford University Press.
  • G. Teitler (2004). Het Einde Padri Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een Bronnenpublicatie. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.
  • Sejarah Bagi SMP dan MTs. Grasindo. ISBN 978-979-025-198-4.
  • Westenenk, L. C., (1913), Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the Padang Highlands, Batavia (Weltevreden): Official Tourist Bureau.


Daftar pustaka


  • 1838. Het verhaal van de overwinning van Bondjol. De Avondbode. (26-03-1838)
  • 1839. Bondjol. Tijdschrift voor Nederlands Indië. 456-458.
  • 1840. J.C. van Rijneveld. Veldtocht der Nederlandse troepen op het eiland Celebes in de jaren 1824-1825. Militaire Spectator. Bladzijde 221-240.
  • 1841. J.C. Boelhouwer. Herinneringen aan mijn tijd op Sumatra's Westkust gedurende de jaren 1831-1834. Erven Doorman.
  • 1841. J.C. van Rijneveld. De merkwaardige terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
  • 1842. A. Meis. Verhaal van de Palembangse Oorlog van 1819 tot 1821. Militaire Spectator. Bladzijde 182-189.
  • 1844. H.M. Lange. Verhaal van de krijgsgebeurtenissen in het landschap Rauw, aan de westkust van Sumatra, gedurende het jaar 1833, en van de heldhaftige verdediging van het fort Amerongen. Militaire Spectator. Bladzijde 7-15, 23-33, 53-61, 81-83 en 119-125.
  • 1850. H.M. Lange. 'Hulde aan de nagedachtenis van hen, die sinds de vestiging van het Koninklijk Nederlands gezag in Oost-Indië, roemvol gesneuveld zijn. Militaire Spectator. Bladzijde 464-475.
  • 1876. A.J.A. Gerlach. Neerlands heldenfeiten in Oost-Indië. Bewerkt naar Les fastes militaires des indes Orientales. Deel II. Gebroeders Belinfante. Den Haag.
  • 1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. M.M. Cuvee, Den Haag.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sejarah Perang Padri dan Keterkaitannya Dengan Kerajaan Pagaruyung di Sumatera barat

Trending Now