Negeri Agraris: Puas Sebagai Pembudi Daya? | Ali Wardhana Isha

Wartawan Goes Too Campus
Jumat, 16 Juni 2023 | Juni 16, 2023 WIB Last Updated 2023-06-16T13:38:21Z

Oleh : Ali Wardhana Isha
QBeritakan.com - Pemilu 14 Februari 2024, merupakan pemilu serentak pertama yang bertujuan untuk memilih presiden, wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik pusat, provinsi maupun kabupaten/kota) dan anggota senator Dewean Perwakilan Daerah (DPD RI), periode 2024-2029. Untuk calon presiden ada 3 nama kuat yang muncul; Ganjar Pranowo (GP), Prabowo Subianto (PS) dan Anies Baswedan (AB). Saya belum mendengar ada yang fokus mengangkat isu pertanian sebagai bentuk keberpihakannya.


BPS mencatat 40,64 juta penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan (Februari 2022). Artinya, sebanyak 14,84 % dari 273,8 juta jiwa penduduk Indonesia tahu 2021. Posisi kedua adalah buruh sebanyak 37,02 juta. Buruh di sini termasuk buruh tani, dan pabrikan.

Indonesia disebut negara agraris salah satunya tercermin dari besarnya populasi petani. Namun pertanyaannya “Seberapa agraris kita sebenarnya?” Negara agraris seakan cerita pengantar tidur, cerita penghibur saja, mengapa? Karena realitanya negara ini tak pernah sesungguhnya menunjukkan jati dirinya sebagai negara agraris. Negara ini selalu berada di underdog dalam sektor agraris. Padahal, Koes Plus dalam lagunya yang sangat terkenal “Kolam Susu” menyebut jika batu kita tanam di negeri ini, akan tumbuh. Sebuah metafor hiperbola yang luar biasa, bahwa Indonesia ini memang sangat subur, sampai-sampai batupun bisa jadi tanaman.

Tapi Saya tersentak ketika seorang teman mengirim pesan whatsapps. Dia prihatin akan ketahanan pangan dalam negeri. Dia mengirim data bahwa dari 24 negara eksportir utama pangan dan pertanian dunia ternyata, mayoritas adalah negara industri maju, yaitu Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol, Kanada, Belgia, Italia, Australia, Inggris dan Denmark. Jumlah itu akan bertambah bila saya masukkan Rusia, Chili, dan Polandia.

Lalu, di mana Indonesia? Indonesia berada di urutan ke-24. Bukankah kita selama ini mengklaim diri sebagai negara agraris? Bila melihat realita ini “Di mana keagrarisan kita?” ujarnya. Jangan-jangan kita selama ini menyatakan diri sebagai negara agraris sekedar untuk menghibur diri karena ketidakmampuan mengoptimalkan potensi pertanian dalam negeri. Atau bisa jadi karena kita terlalu silau dengan dunia industri yang membawa negara-negara tersebut maju dengan cepat.

Segala kemungkinan itu bisa jadi ada benarnya. Sebab sejak 75 tahun lalu merdeka, Indonesia hanya mampu bangga dan puas dengan julukan itu. Kita tak pernah berpikir, bagaimana sesungguhnya negara agraris yang dimaksud.

Bangga jadi “Pembudi Daya”

Sistematika atau alur hidup distribusi ekosistem pertanian dan perikanan itu dimulai dari “Input-Budi Daya-Pasca panen-Gudang-Nilai Tambah-Pasar”. Alur ekosistem pertanian ini diawali dari “Input”. Pertanyaannya “Siapa ada di sini? Konteks Indonesia”. “Input” itu terdiri dari semisal pupuk, pakan, bibit, pembasmi hama dan lainnya. Jika kita lihat sampai saat ini tidak ada yang fokus milik negara sebagaimana mandat pasal 33 ayat 2 UUD 1945. Semua milik perusahaan besar (Big corporate). Kita punya PT. Pupuk Indonesia (persero) untuk pengadaan pupuk, tapi ruang kendalinya hanya di sektor pupuk. Tidak ada yang menyeluruh dari hulu hingga hilir dalam satu tata niaga pertanian dan perikanan. Kondisi ini menyebabkan fluktuasi harga tidak bisa dikendalikan negara secara baik. Contoh pasca ramadhan harga telor dan ayam naik luar biasa. Kenaikan ini tidak bisa dilepaskan dari minimnya peran negara dalam penguasaan “Input”. Sehingga apabila satu item saja ditahan oleh corporate besar, akan berdampak sampai ke hilir. Harga dengan mudah dipermainkan.

Lalu di mana negara dalam ekosistem ini? Negara baru cukup puas menjadi bagian dari proses “Budi daya”. Posisi petani dan negara sama, hanya sebagai pembudi daya bukan penjaga rantai alur pertanian dan perikanan. Negara cukup membusungkan dada bila ada corporate besar misalnya membagikan pupuk, pakan atau bibit secara gratis. Keberhasilan negara mmemperoleh bantuan “Input” ini dianggap sebuah prestasi besar oleh birokrasi. Tidak sadar itu hanya “Jebakan batman”.

Negara terjebak dalam tata kendali permainan corporate besar. Negara lupa pintu masuk mengendalikan dan memotong ruang ekosistem pertanian secara menyeluruh cukup mudah dilakukan dengan menguasai step “Input”. Jika “Input” sudah dikuasai maka step lain akan lebih mudah dilakukan. Mengapa? Karena kita tahu step “Budi daya” hanya sebuah proses bercocok tanam/memelihara/pembesaran saja. Sebab step utama dan penting ada di step “Input”. Sehingga untuk proses di step “Pasca panen” (penentuan grade/classification hasil panen) akan sangat ditentukan siapa pemegang step “Pasar” (market). Step di mana pasar meminta grade dari produk hasil panen petani yang sesuai dengan kehendak mereka. penentuan grade ini untuk menentukan kualitas dan menekan harga.Kita tidak tahu sebenarnya grade yang mana di mata pabrikan/konsumen yang benar-benar dibutuhkan. Yang pasti dengan grade ini kualitas hasil panen petani akan mudah diberi nilai/harga yang diatur corporate.

Tidak hanya sampai di step ini corporate besar memainkan kendali. Step “Gudang” (penyimpanan) juga memberikan kepastian bahwa grade demi grade hasil panen itu mereka simpan untuk dipasarkan. Kita tidak tahu grade terbaik yang mana, apakah A misalnya, atau B, atau C yang benar-benar menguntungkan bagi corporate besar ini. Grade A biaya beli pasti lebih tinggi, tapi kuantitas pasti terbatas. Grade B sama juga. Lalu grade C (upkiran/sisa), bisa jadi ini yang sangat menguntungkan, di mana petani dihadapkan pada pilihan “Dijual murah, tidak dijual sayang”.

Kontradiksi ini tentu mengakibatkan petani tidak memiliki pilihan lain. Akhirnya djual murah atau diberikan begitu saja. Padahal bisa jadi ini yang keuntungannya sangat besar bagi corporate. Setelah diolah, dikemas untuk menambah nilai jual. Misalnya kentang atau kacang goreng jajanan anak.

Step “Logistik” (transportasi) agar sampai ke pasar (market) sebelum ke konsumen sudah pasti juga tidak di bawah kendali petani/negara. Kepemilikannya dipastikan ada di tangan corporate besar juga. Jika ada negara di situ, yakin hanya semata operator transportasi, mengingat pasar ada di genggaman corporate. Realita ini terjadi karena posisi negara lemah dan tidak memiliki grand design dan blue print untuk memperkuat ruang kendali ekosistem pertanian-perikanan guna menempatkan petani dan negara sebagai pemilik otoritas keberdikarian ekonomi tani.

Yang sangat dibutuhkan petani dan nelayan sesungguhnya adalah perlindungan/proteksi pertanian-perikanan, bukan sebatas kekuatan finansial yang jadi permasalahan. Petani-nelayan membutuhkan ruang pasar dan political will dari negara. Petani-nelayan membutuhkan “empower” dari negara untuk membantu petani mencapai tujuannya meningkatkan kesejahteraan. Empower bukan berarti upaya mengontrol orang lain, melainkan untuk menumbuhkan semangat positif dalam diri semua pihak (petani-nelayan maupun pemilik modal), untuk sama-sama membangun komitmen bersama dalam mencapai tujuan bersama (win-win solustion).

Negara bisa memulai dengan membangun capacity building di sektor pertanian, perikanan dan peternakan. Alih technology innovation (Inovasi teknologi), pengembangan produk (product development), berusaha untuk kepentingan kemasyarakatan (social enterprise/social enterpreneurship). Social enterprise maksudnya negara menekankan pengembangan usaha pertanian, peternakan dan perikanan, semata-mata untuk kepentingan rakyat sebagaimana pasal 33, ayat 2 UUD, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Di mana sistem ekonominya harus “Dibangun dengan sistem usaha bersama atas asas kekeluargaan” (UUD Pasal 33 ayat 1).

Bagaimana menggapainya? Negara harus mampu mendorong langkah-langkah kolaborasi dengan semua stakeholders pertanian, perikanan dan peternakan, seperti investor, petani, pemerintah, akademisi, komunitas, media dan pelaku bisnis. Di sini peran strategis negara/pemerintah sangat mutlak karena memegang penuh otoritas regulasi. Negara harus mampu membangun kolaborasi pada semua pihak. Investor maupun konsumen memiliki kebanggaan ekstra untuk menggunakan produk dalam negeri sebagai komitmen kecintaan pada bangsa. Investor juga harus memiliki komitmen untuk mengutamakan investasinya pada sektor pertanian, peternakan dan perikanan di dalam negeri, termasuk konteks pemasaran produk olahannya.

Media massa pun harus memiliki keteguhan untuk berperan aktif memperkenalkan semua produk pertanian, peternakan dan perikanan hasil bumi sendiri, agar lebih dikenal oleh negara lain. Begitu pula kaum akademisi harus didukung pendanaan untuk melakukan riset-riset produktif demi kemajuan ketiga sektor tersebut. Semua itu kuncinya ada di political will negara/pemerintah untuk cepat tanggap guna memperkuat daya saing dan menjadikan pasar sebagai kekuatan (strength of market), seperti layaknya negara China membangun sistem perekonomian mereka. Negara memiliki kewajiban membuka pasar, sebelum meminta produsen memproduksi/membudidayakan sesuatu. Di sinilah regulasi yang memiliki keberpihakan kepada kepentingan nasional-namanya. Khususnya, sektor pertanian, peternakan dan perikanan yang memang menguasai hajat hidup rakyat banyak. Semoga!


*Penulis adalah Petani jengkol, Ketua DPW Insan Tani dan Nelayan (Intani) Jawa Barat, Komite Riset dan Kebijakan DPP Intani, dan Ketua Komunitas Masyarakat Peduli (Kompi)  OKU Selatan.

Sumber : https://kabarkampus.com/

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Negeri Agraris: Puas Sebagai Pembudi Daya? | Ali Wardhana Isha

Trending Now