QBeritakan.com - Dalam beberapa bulan terakhir, Lampung menyuguhkan potret krisis yang selama ini luput dari sorotan nasional: krisis harga singkong. Tanaman yang selama ini menjadi penyangga utama ekonomi rakyat justru menjadi sumber derita ribuan petani.
Harga beli pabrik hanya Rp 1.100 per kilogram, itu pun sebelum potongan rafaksi yang mencapai 30–40 persen. Akibatnya, petani hanya menerima rata-rata Rp 715 per kilogram—angka yang bahkan tak sanggup menutup biaya produksi yang mencapai Rp 793 per kilogram. Artinya, setiap kali panen, petani justru merugi.
Kondisi ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Struktur pasar yang oligopsonistik—di mana beberapa pabrik besar memegang kendali atas harga dan standar mutu—membuat petani tidak punya posisi tawar. Sistem rafaksi pun kerap dijalankan secara tidak transparan, memperdalam ketimpangan antara hulu dan hilir.
Aksi ribuan petani dan mahasiswa di Bandar Lampung pada 5 Mei lalu adalah puncak dari akumulasi kekecewaan yang telah lama terpendam. Pemerintah daerah merespons cepat. Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, mengeluarkan Instruksi Gubernur No. 2 Tahun 2025 yang menetapkan harga sementara Rp 1.350 per kilogram, dengan batas rafaksi maksimal 30 persen.
Kebijakan ini layak diapresiasi. Namun, kita juga harus sadar bahwa ini adalah solusi jangka pendek. Ketika 27 dari total 76 pabrik pengolahan singkong sempat menghentikan operasi selama beberapa hari, kita melihat bahwa akar persoalan lebih kompleks dari sekadar penetapan harga dasar.
Langkah korektif dari pemerintah daerah harus diikuti oleh regulasi nasional yang lebih kuat. Negara perlu hadir dengan kebijakan harga pokok penjualan (HPP) nasional untuk singkong. Penetapan standar rafaksi secara baku dan pembatasan impor produk turunan singkong (melalui mekanisme larangan terbatas atau lartas) juga harus segera dirumuskan. Tanpa ini, singkong akan terus menjadi komoditas yang mudah dipermainkan pasar.
Petani singkong bukan hanya penghasil bahan baku bagi industri tapioka. Mereka adalah penjaga urat nadi ekonomi desa, penggerak lumbung pangan lokal, dan simbol ketahanan pangan nasional. Jika negara membiarkan mereka rugi, sesungguhnya yang dikorbankan adalah masa depan kita sendiri.
Sudah saatnya kita berhenti memandang singkong sebagai komoditas rendahan. Di balik setiap umbi yang tumbuh dari tanah Lampung, ada harga diri yang harus dijaga—harga diri petani Indonesia.