QBeritakan.com - Lereng timur Gunung Wurung diselimuti kabut tipis. Embun masih menggantung di ujung daun pakis, dan nyanyian burung alap-alap yang menyayat langit terdengar bagai isyarat gaib dari masa lampau.
Di bawah langit yang murung itu, berdirilah sebuah gubuk tua di antara rimbunnya pohon pulutan dan jati muda. Gubuk itulah tempat tinggal Nyai Paricara, sang tabib kelana yang dahulu dikenal sebagai Mei Shin seorang perempuan berdarah Mongolia. yang telah meninggalkan dunia persilatan dan memilih hidup dalam sunyi, menambal luka umat lewat pengobatan dan doa.
Meski telah lama berpisah, Ayu Wandira — putri darah Majapahit — kerap datang mengunjungi ibunya itu secara diam-diam. Mereka tidak tinggal bersama, namun hubungan batin mereka seperti sungai bawah tanah: tak tampak di permukaan, namun mengalir kuat dan abadi.
Hari itu, Ayu datang membawa kabar buruk.
> "Gunung Wurung tidak tenang, Ibu... tanahnya mulai retak, dan penduduk di bawah mulai mendengar suara-suara dari perut bumi."
Nyai Paricara tak segera menjawab. Ia tengah mengaduk rebusan daun sembung dan akar meniran di atas api kecil. Uapnya harum, menenangkan, dan menyelimuti wajahnya yang mulai dimakan usia — namun matanya tetap menyala, seperti mata perempuan yang telah melewati ribuan malam sunyi.
> "Tanah yang merintih bukan tanpa sebab, Nak Wandira," ucapnya lembut. "Mungkin karena manusia terlalu sering menggali dalam, tanpa pamit pada penjaga yang tidur."
Ayu menatap wajah ibunya dalam diam. Ia masih mengenang masa kecilnya, saat tubuh ibunya yang lembut dan tangan yang dingin selalu bisa meredakan panas di kening dan beban di dada. Kini, wanita itu seperti sosok pohon tua — diam, kokoh, dan menyimpan angin dalam akar-akarnya.
> "Apakah benar yang dikatakan orang-orang?" tanya Ayu pelan. "Bahwa segel Batu Sumelang di Akar Wurung telah diganggu?"
Mei Shin — atau kini lebih dikenal sebagai Nyai Paricara — memejamkan mata. Nafasnya pelan.
> "Ada yang menggali tanah keramat. Mereka kira hanya akan menemukan pusaka, padahal di bawah batu itu terkubur satu kutukan lama..."
> "Kutukan?" Ayu menyipitkan mata.
> "Zaman dulu, seorang empu menyimpan racun paling mematikan di bawah sana. Ia bukan racun tubuh, melainkan racun kehendak... Mereka yang menyentuhnya akan kehilangan nalar, digantikan oleh nafsu untuk menaklukkan."
Suara itu datang bersamaan dengan langkah kaki dari balik kabut. Seorang tua berjubah kelabu muncul — Resi Padmaya, seorang pengelana dari padepokan tua di lereng Gunung Indrakila.
> "Salam karahayon, Nyai Paricara. Aku datang bukan membawa berita baik."
Nyai Paricara menoleh, wajahnya tak berubah.
> "Kau datang dari utara?"
> "Dari arah Nusa Sayung. Lat-Sin Hua telah bergerak, membawa tongkat bersisik ular dan seorang pemuda bertopeng dari timur laut. Mereka sedang mencari Pusaka Ranu Murca... konon terkubur di bawah segel Akar Wurung."
Ayu terkejut.
> "Lat-Sin Hua? Perempuan itu masih hidup?"
Resi Padmaya mengangguk. "Dan dia tidak sendiri."
Sementara itu, jauh di Istana Trowulan, Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi berdiri di pelataran pendapa. Angin bertiup membawa wangi kayu cendana dari altar leluhur. Di tangannya tergenggam kabar dari telik sandi.
> "Seorang tabib dari masa lalu muncul kembali di Gunung Wurung," ucap prajurit pembawa kabar. "Dan seorang gadis muda dari darah Majapahit kerap terlihat menyusuri lerengnya."
Ratu Tribhuwana menatap ke timur. Matanya menyipit, menembus jarak dan waktu.
> "Lembah akan bertemu puncak... dan akar akan menyatu dengan langit."
> "Panggil Jambunada, titipkan titah padanya. Lelakon zaman ini belum selesai. Penebus luka bumi ada di antara darah mereka."
Di bawah cahaya temaram senja, Ayu Wandira memandangi gubuk ibunya sekali lagi. Ia tahu, perjalanan kali ini akan lebih panjang. Bukan hanya menyembuhkan wabah, tetapi juga menahan badai yang akan bangkit dari dalam tanah — badai yang pernah disegel oleh leluhur dan kini terancam terlepas kembali.
Ia menunduk di hadapan ibunya.
> "Doakan aku, Ibu. Mungkin aku akan turun dan tidak kembali dalam waktu lama."
Nyai Paricara tersenyum tipis, matanya berkabut namun terang.
> "Pergilah, Nak. Bukan untuk membunuh, tapi untuk menjaga kehidupan. Jangan takut pada kegelapan... karena kau lahir dari cahaya yang paling lembut dan paling kuat."
Bersambung.........
Adaptasi kreatif oleh: Aang Art
#TuturTinular #ParaSatriaKekasihDewa #AryaKamandanu