QBeritakan.com - Ketika Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pencabutan izin empat perusahaan tambang di Raja Ampat awal Juni 2025, banyak dari kita merasa lega—akhirnya, ada keputusan negara yang sejalan dengan nurani ekologis. Tapi di balik keputusan ini, ada pertanyaan besar yang harus terus kita ajukan: mengapa kawasan seperti Raja Ampat sempat diberi izin tambang sama sekali?
Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau indah di Papua Barat. Ia adalah permata dunia. Peneliti internasional menyebutnya sebagai “last paradise on Earth”—rumah bagi 75% spesies karang dunia, ratusan jenis ikan endemik, dan budaya lokal yang telah menyatu dengan alam selama ratusan tahun. Namun, di balik keelokan itu, selama bertahun-tahun, Raja Ampat terancam oleh kerakusan industrialisasi, utamanya melalui pertambangan nikel.
Nikel: Logam Masa Depan, Tapi Di Mana Batasnya?
Tak bisa dimungkiri, nikel kini jadi rebutan dunia. Bahan baku utama baterai mobil listrik ini telah membuat Indonesia, dengan cadangan nikel terbesar dunia, berada dalam sorotan global. Pemerintah pun berlomba-lomba membuka pintu investasi, bahkan di kawasan rawan ekologis.
Empat perusahaan—PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham—diberi izin di kawasan Raja Ampat. Padahal, pulau-pulau kecil seperti Kawe atau Waigeo jelas dilindungi dalam UU No. 1 Tahun 2014 yang melarang kegiatan pertambangan di pulau kecil berpenduduk.
Saya bertanya, adakah logika kebijakan yang sanggup membenarkan kerusakan ekosistem demi beberapa ton logam? Bagaimana mungkin wilayah yang telah ditetapkan sebagai Geopark Dunia UNESCO justru diperlakukan layaknya zona industri?
Konservasi Bukan Musuh Pembangunan
Sering kali, mereka yang bersuara soal lingkungan dituduh anti-pembangunan. Tapi mari kita luruskan: konservasi bukan anti-kemajuan, tapi bentuk kemajuan yang lebih tinggi. Pembangunan tanpa arah ekologis adalah kemunduran yang ditunda.
Presiden telah menunjukkan sinyal keberpihakan pada lingkungan dengan mencabut izin tambang. Namun, masih ada pekerjaan rumah besar. PT Gag Nikel, satu-satunya perusahaan yang tetap diizinkan beroperasi karena kontraknya sudah ada sejak 1998, berada di zona rawan. Meski secara hukum “sah”, tapi secara ekologis belum tentu bijak. Apakah kita akan terus berlindung di balik legalitas, atau mulai bergerak menuju moralitas?
HAM, Masyarakat Adat, dan Hak Hidup
Komnas HAM menyatakan akan turun langsung ke lapangan. Ini langkah penting. Tambang tak hanya merusak alam, tapi juga sering melahirkan konflik sosial, kriminalisasi masyarakat adat, dan pelanggaran hak hidup. Warga lokal kehilangan tanah ulayat, akses terhadap laut, bahkan identitas budaya yang selama ini mereka pertahankan.
Pemerintah harus mulai melihat proyek lingkungan sebagai investasi jangka panjang, bukan sekadar beban atau hambatan. Raja Ampat berpotensi menjadi destinasi wisata dan pusat riset laut terbesar di Asia Tenggara. Tapi semua itu hanya mungkin jika kita berani menjaga, bukan menggadai.
Penutup: Surga Terakhir Bukan Untuk Dijual
Menjaga Raja Ampat adalah menjaga martabat bangsa. Kita bisa jadi eksportir nikel tanpa menebang hutan purba. Kita bisa jadi pemain global tanpa kehilangan akar. Dunia sedang menilai: apakah Indonesia benar-benar pemimpin dalam transisi hijau, atau hanya pemasok bahan mentah dengan risiko ekologis paling tinggi?
Raja Ampat sudah bicara. Langitnya, lautnya, dan masyarakat adatnya telah memberi kita warisan. Sekarang saatnya kita menjawab, bukan dengan tambang, tapi dengan keberanian melindungi yang tersisa.