QBeritakan.com - Dalam tradisi spiritual masyarakat Jawa, terdapat satu konsep yang sakral dan dalam maknanya: moksa. Sebuah tujuan akhir dari perjalanan hidup manusia yang tidak sekadar soal kematian, melainkan soal penyatuan kembali dengan Sang Sumber Kehidupan. Dalam budaya Kejawen, moksa menjadi lambang puncak pencapaian spiritual, ketika seseorang telah melampaui keterikatan duniawi dan mencapai kebebasan jiwa yang sejati.
Asal Usul Konsep Moksa
Secara historis, istilah moksa berasal dari ajaran Hindu dan Buddha yang berkembang di Nusantara. Namun, dalam budaya Jawa, konsep ini berkembang dalam balutan nilai-nilai lokal seperti kebatinan, laku spiritual, dan keselarasan hidup. Dalam Kejawen, moksa bukan sekadar pembebasan dari siklus lahir dan mati (samsara), tetapi juga sebuah kepulangan spiritual ke asal muasal manusia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Laku Moksa: Jalan Sunyi Menuju Kebebasan Jiwa
Orang Jawa percaya bahwa moksa tidak bisa diraih dengan jalan pintas. Ia hanya mungkin dicapai oleh mereka yang menjalani hidup sebagai laku batin, penuh kesadaran dan pengendalian diri. Beberapa ciri orang yang diyakini mencapai moksa antara lain:
Tidak terikat oleh harta, jabatan, atau hawa nafsu duniawi
Menjalani hidup dengan kesederhanaan dan tirakat
Berbuat baik tanpa pamrih
Memahami hidup sebagai perjalanan pulang, bukan tujuan akhir
Selalu berusaha menyatu dengan kehendak alam dan kehendak Tuhan
Dalam Kejawen, kehidupan bukanlah soal mengejar dunia, melainkan soal memahami hakikat dari “sangkan paraning dumadi” — dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali.
Tokoh Jawa yang Konon Mencapai Moksa
Beberapa tokoh legendaris dalam sejarah dan mitologi Jawa disebut-sebut telah mencapai moksa. Mereka bukan hanya dikenal karena kesaktian, tetapi juga karena kedalaman spiritual dan kebijaksanaan hidupnya.
Semar, tokoh punakawan dalam wayang, digambarkan sebagai manifestasi dewa yang menyamar untuk membimbing manusia
Ki Ageng Selo, tokoh spiritual yang dipercaya mampu menangkap petir dan hidup dalam laku kebatinan tinggi
Prabu Brawijaya V, raja Majapahit yang menurut legenda moksa di Gunung Lawu
Sunan Kalijaga, dalam beberapa versi kisah, juga disebut sebagai wali yang tidak mengalami kematian secara biasa
Mereka adalah simbol manusia-manusia yang telah selesai dengan urusan dunia, dan mencapai tingkat kesadaran yang menyatu dengan Sang Maha.
Moksa, Jalan Hidup Jawa yang Dalam
Dalam ungkapan Jawa kuno, sering terdengar pepatah:
“Urip iku mung mampir ngombe” — hidup hanyalah persinggahan sementara.
Dan juga,
“Sangkan paraning dumadi” — memahami asal dan tujuan kehidupan.
Ungkapan-ungkapan ini menggambarkan bahwa hidup menurut filsafat Kejawen adalah perjalanan spiritual, bukan hanya biologis. Moksa menjadi semacam penutup yang agung dari laku tersebut.
Penutup
Moksa dalam budaya Kejawen bukan sekadar mitos atau cerita kuno. Ia adalah refleksi dari nilai luhur spiritualitas Jawa yang mengajarkan bahwa kehidupan sejati bukan di dunia, melainkan dalam penyatuan jiwa dengan Yang Ilahi. Sebuah ajaran yang tetap relevan di era modern: bahwa kebahagiaan tertinggi bukan berasal dari apa yang kita miliki, tapi dari kedalaman batin dan kejernihan jiwa.