Oleh: Prasetyo Budi
Lampung – Di tengah geliat ekonomi nasional yang mulai pulih, para petani karet di Lampung masih harus menelan kenyataan pahit: harga getah karet tak kunjung naik secara signifikan. Padahal, komoditas ini dulu menjadi andalan ekonomi desa, bahkan simbol kejayaan rakyat di pedesaan Sumatra bagian selatan.
Di beberapa daerah seperti Mesuji, harga sempat menyentuh angka Rp 13.000–14.000 per kilogram awal tahun ini. Namun kini, kembali stagnan di angka Rp 9.000–12.000. Angka ini bahkan lebih rendah dibanding biaya perawatan kebun dan tenaga sadap. Pertanyaannya: ada apa dengan harga karet?
Cuaca Buruk Bukan Satu-satunya Masalah
Memang benar, cuaca yang cenderung hujan belakangan ini menyebabkan getah bercampur air. Kualitas menurun. Tapi apakah hanya itu penyebabnya? Tidak.
Masalah utamanya ada pada rantai distribusi dan struktur pasar karet rakyat yang masih jauh dari efisien. Petani menjual ke pengepul kecil, yang menjual lagi ke pengepul besar, dan seterusnya hingga ke pabrik. Dalam rantai yang panjang ini, harga yang diterima petani hanyalah remah-remah dari nilai sesungguhnya di pasar global.
Padahal, jika dirunut ke pasar internasional, harga kontrak karet dunia per 16 Juni 2025 berada di kisaran 162,40 US cents/kg, atau sekitar Rp 24.000/kg. Ironis bukan? Harga global dua kali lipat dibanding yang diterima petani Lampung.
UPPB: Solusi yang Masih Minim Dukungan
Kementerian Pertanian telah mendorong sistem Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) agar petani bisa menjual dalam skala besar dan langsung ke pabrik. Sistem ini terbukti mampu menaikkan harga jual menjadi 75–80% dari harga pasar FOB.
Sayangnya, di Lampung, kehadiran UPPB masih belum merata. Banyak petani belum tergabung atau bahkan belum tahu apa itu UPPB. Tanpa wadah bersama, posisi tawar mereka tetap lemah di hadapan pasar.
Saatnya Pemerintah Turun Tangan Serius
Masalah karet ini bukan sekadar soal komoditas, tapi soal keadilan ekonomi. Negara seharusnya hadir melalui:
Penguatan koperasi atau UPPB di tingkat desa.
Penyediaan akses pembeku berkualitas agar mutu bokar naik.
Edukasi pasar dan digitalisasi pemasaran langsung ke pabrik.
Tanpa upaya serius dari hulu ke hilir, petani karet hanya akan jadi penonton dari harga yang terus dimainkan pasar. Mereka bekerja keras, tapi hasilnya dinikmati pihak lain.
Penutup: Jangan Biarkan Petani Bertarung Sendiri
Kita tidak bisa berharap harga naik begitu saja tanpa perubahan sistem. Jika negara ingin kemandirian pangan dan energi, maka petani—termasuk petani karet—harus diperkuat. Jika tidak, karet bukan hanya tak laku, tapi bisa jadi akan ditinggalkan.
Getah karet memang lengket, tapi jangan biarkan nasib petaninya ikut terjerat di dalam sistem yang tak adil.
---
Tentang Penulis:
Prasetyo Budi adalah jurnalis dan pengamat isu-isu pedesaan dan pertanian. Ia kerap menulis di QBeritakan.com dan beberapa media lokal.