Dwarapala. Yin & Yang dalam konsep Jawa Kuno

QBeritakan.com
Rabu, 08 Mei 2024 | Mei 08, 2024 WIB Last Updated 2024-05-08T02:07:17Z



QBeritakan.comQBeritakan.com - Selain di Kraton Surakarta, di Kraton Yogyakarta juga terdapat arca Dwarapala kembar yang menjadi penjaga regol Danapratapa.
Regol (pintu gerbang dlm bhs Jawa ngoko) Danapratapa terletak di antara Bangsal Trajumas & Bangsal Srimanganti, merupakan akses yg menghubungkan antara plataran Srimanganti dengan plataran Kedhaton. 

Ragam hias di regol Danapratapa pada dasarnya merupakan "sengkalan memet" yang menandakan tahun penobatan Sultan Hamengkubuwono VIII (1921) & tahun pemugaran regol Danapratapa (1928).

Sengakalan memet di regol Danapratapa yg menghadap ke utara, di bagian atas terdapat tangan yg memegang wengkon (lingkaran) & bola dunia dgn simbol kraton Yogyakarta, yg dapat dibaca sebagai “Jagad ing Asta Wiwara Dhatulaya (narpati)” atau angka tahun Masehi 1921. Di di sampingnya, juga ragam hias daun kluwih, hewan biawak & kepala raksasa, yg dapat dibaca sebagai “Kaluwihaning Yaksa Salira Aji”, atau angka tahun Jawa 1851, menunjukkan tahun penobatan Sultan Hamengkubuwono VIII. 

Di atas regol terdapat sebuah bulatan atau "wengku" yang mengelilingi jagad & dua ekor binatang yang disebut salira (biawak). Mengelilingi bahasa Jawanya adalah Hamengku, sedangkan Jagad adalah Buwono & Salira (biawak) dlm ilmu sengkalan berarti angka delapan. Jadi, arti semuanya adalah Hamengkubuwono VIII.

Di sebelah kanan & kiri regol penjagaan & sepasang arca Dwarapala sebagai pengubah dari Bathara Cingkarabala (sebelah kanan) yg melambangkan sifat baik & Bathara Balaupata (sebelah kiri) yg melambangkan sifat jahat. 
Dikisahkan, Bathara Cingkarabala & Bathara Balaupata adalah dua raksasa, putra kembar dari Prabu Patanam, Raja dedhemit Kerajaan Dahulagiri yg pada jaman kedewataan "Jawa Kuno" bersama Lembu Nandhini & Lembu Nandana, saudara kembarnya Cingkarabala & Balaupata yg berwujud lembu mengunjungi istana para dewa tetapi gagal .Singkat kata, mereka berdua akhirnya ditugaskan untuk menjaga pintu kasuwargan supaya manusia tidak masuk kasuwargan dalam bentuk wadhag-nya atau badan kasarnya, sedangkan Lembu Nandhini akhirnya menjadi kendaraan Bathara Guru & Lembu Nandana menjadi leluhurnya para sapi di dunia.
Konsep Dwarapala memang menampilkan sisi berbeda ketika "Jawa Baru" muncul pada jaman sekarang, sosok2 ini dikesankan mewakilimakhluk yg mengerikan & identik dengan "Butho" atau anasir jahat yg berbeda dengan pemahaman "Jawa Kuno" yg menampilkan sisi kadewataan dalam sosok2 yg sering salah dgn disebut sebagai "Gupala".

Pada dasarnya Danapratapa merupakan simbol bahwa raja harus berperilaku bijaksana dalam setiap keputusannya. Di sisi lain juga meneguhkan konsep : hamemayu hayuning bawana & makna kepemimpinan hamangku, hamengku & hamengkoni, yaitu memberikan kesejahteraan, bertindak adil & dapat menjadi contoh bagi kawulanya
Sedangkan tahun pemugaran regol Danapratapa terletak di bagian belakang yang menghadap ke selatan, yaitu ragam hias dua kepala gajah dengan panah yg ada di belalainya, yg dapat dibaca sebagai “Esthi Dara Esthi Aji” tahun Jawa 1958. Di samping itu sengkalan "Esthi Dwining Wiwara Narpati ” untuk tahun Masehi 1928.

Kisah Bathara Cingkarabala & Bathara Balaupata.

Cingkarabala & Balaupata adalah putra kembar Prabu Patanam, raja dedhemit di Dahulagiri, sebuah kerajaan yang hanya muncul di era Kadewataan. Pada masa itu diceritakan bahwa udara masih segar, manusia belum banyak & hubungan antara manusia & raksasa sangat dekat dengan para dewa di Kahyangan. Cingkarabala & Balaupata berwujud raksasa kembar, mereka juga adik dari Lembu Nandini & Lembu Nandana.

Suatu saat, Cingkarabala & Balaupata bersama Lembu Nandini & Lembu Nandana berencana untuk memuat Kahyangan. Namun rencana tersebut disetujui oleh Bathara Surya, dewa matahari. Kemudian Bathara Surya melaporkannya kepada Bathara Guru yg saat itu masih belum lama menjabat sebagai raja Tribuana & belum mengalami kelumpuhan. Bathara Guru lalu meminta petunjuk kepada Sang Hyang Tunggal, pemomong para dewa. Sang Hyang Tunggal menyarankan Bathara Guru untuk mencegah rencana para putra Dahulagiri tersebut.

Bathara Guru kemudian turun dari Kahyangan untuk mendatangi Dahulagiri. Pada saat itu Bathara Guru turun sendirian dari puncak Gunung Mahameru & langsung menemui putra2 raja Dahulagiri tersebut untuk mengingatkan mereka agar membatalkan rencana untuk memasukkan Kahyangan. Namun apa yang dilakukan Bathara Guru justru membuat putra2 raja Dahulagiri marah & kemudian mereka menantang Bathara Guru untuk menghinanya. Suasana semakin memanas, kemudian Bathara Antaga & Bathara Ismaya yg mengetahui hal tersebut akhirnya menyusul Bathara Guru untuk meredakan suasana. Namun suasana semakin panas karena putra2 raja Dahulagiri tersebut tidak mau membatalkan rencana mereka untuk memasuki Kahyangan.

Untuk mencegah putra2 raja Dahulagiri melanjutkan rencana mereka menyerbu Kahyangan, kemudian Bathara Antaga, Bathara Ismaya & Bathara Guru menerima tantangan untuk melawan nyanyian Lembu Nandana & Lembu Nandini, Cingkarabala & Balaupata. Dlm peperangan tersebut, Bathara Antaga melawan Lembu Nandana, Bathara Ismaya melawan Cingkarabala & Balaupata yg mempunyai kesaktian jika salah satunya terbunuh, maka saudara kembarnya akan melompati jasad saudara kembarnya & kemudian bisa hidup kembali. Sedangkan Bathara Guru melawan Lembu Nandini. 
Bathara Antaga, Bathara Ismaya & Bathara Guru menggetarkan hanya dengan tangan kosong, sementara Lembu Nandana, Lembu Nandini, Cingkarabala & Balaupata menggunakan senjata & tanduk. Namun akhirnya putra2 raja Dahulagiri berhasil dikalahkan & menyerah.

Karena kagum dengan kemampuan putra2 raja Dahulagiri tersebut, Bathara Antaga & Bathara Ismaya menyarankan Bathara Guru untuk mengangkat mereka sebagai dewa di Kahyangan. Bathara Guru menyetujui saran tersebut, kemudian mengangkat Lembu Nandana sebagai ibu/leluhur bagi para sapi di dunia, Lembu Nandini sebagai wahana untuk Bathara Guru, sedangkan Cingkarabala & Balaupata diangkat sebagai penjaga gapura Kahyangan (Selamatangkep), yaitu gerbang yg menuju ke Kahyangan Suralaya & sekaligus sebagai dewa perlindungan.

Dlm membawakannya, Bathara Cingkarabala & Bathara Balaupata membawa senjata berupa Gada yg sekeras intan. Bathara Cingkarabala & Bathara Balaupata bekerjasama dengan Bathara Indra sebagai Senopati Kahyangan & Bathara Wisnu, dewa penjaga manusia. Senjata Gada tersebut pernah beberapa kali digunakan untuk melawan para raksasa yang mengunduh Kahyangan dengan maksud jahat untuk menjarah senjata para dewa & mengambil para bidadari. Raksasa yang pernah menjadi lawan mereka adalah Nilarudraksa, Rahwana, Kala Pracona & Patih Sekipu, serta Jathasura & Mahesasura.

Dalam versi lain diceritakan bahwa Cingkarabala adalah saudara kembar dari Balaupata. Mereka berdua adalah putra Bathara Bremani. Kakaknya yg sulung bernama Manumayasa. Berbeda dengan kakaknya yang lahir sebagai manusia biasa, Cingkarabala & Balaupata berwujud raksasa. Oleh Bathara Guru, Cingkarabala & Balaupata diangkat menjadi dewa untuk menjaga Selamatangkep, yaitu gerbang yg menuju ke Kahyangan Suralaya.

Ada juga versi yang menceritakan bahwa Cingkarabala & Balaupata bukanlah anak dari Bathara Bremani, melainkan anak dari Maharesi Gopatama, saudara kandung Lembu Andini.

Ada juga versi yg menceritakan bahwa Cingkarabala & Balaupata bukanlah anak dari Bathara Bremani, melainkan anak dari Maharesi Gopatama, saudara kandung Lembu Andini.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Dwarapala. Yin & Yang dalam konsep Jawa Kuno

Trending Now