Dedemit di Simpang Karang
Karya: Prasetyo Budi
Aruna, jurnalis muda dari kota, berdiri di tepi Desa Simpang Karang. Udara di sini terasa lebih berat, seolah keheningan bukan karena sepi, melainkan karena menahan napas. Tujuannya adalah urban legend paling mencekam di Jawa Barat: Dedemit Karang, hantu perempuan yang konon mengincar laki-laki asing di Simpang Lima.
Warga desa menyambutnya dengan tatapan waspada. Hanya Kakek Jaga, seorang sepuh yang matanya menyimpan ketakutan masa lalu, yang bersedia bicara.
"Jangan pernah lewat Simpang Lima itu saat menjelang Maghrib, Nona," bisiknya, suaranya serak. "Dedemit itu membenci pendatang. Apalagi yang mencari tahu."
Tentu saja, Aruna mengabaikannya. Keinginan untuk mendapatkan berita besar mengalahkan rasa takutnya. Tepat pukul setengah enam sore, Aruna membawa kamera dan perekam suara menuju Simpang Lima, sebuah persimpangan jalan yang dikelilingi pohon-pohon besar dan batu karang hitam.
Saat adzan Maghrib mulai berkumandang, Aruna merasakan aroma melati yang tajam, wangi yang memabukkan, lalu berubah menjadi bau busuk seperti tanah yang digali. Suhu udara turun drastis.
Tiba-tiba, kamera Aruna mati. Di ujung Simpang Lima, ia melihat sekelebat bayangan hitam panjang. Itu adalah siluet seorang perempuan berambut terurai. Bisikan halus, tanpa sumber, mulai menyentuh telinganya.
"Pulanglah... atau kau akan tinggal di sini selamanya..."
Aruna berlari, jantungnya berdebar kencang. Ketika ia tersandung dan jatuh, matanya menangkap sesuatu yang berkilauan di tanah bekas ia melihat bayangan itu. Sebuah liontin perak kuno berukir aksara Jawa. Ia menggenggamnya, merasakan panas aneh di telapak tangannya.
Malam itu, teror dimulai. Aruna dihantui mimpi buruk: melihat seorang perempuan cantik bernama Retna, menangis histeris, dikelilingi api dan cemoohan. Wajah Retna di mimpinya perlahan berubah menjadi wujud mengerikan seperti tengkorak dengan mata merah menyala, persis seperti yang sering digambarkan warga desa.
"Tolong aku..." bisiknya dalam mimpi.
Aruna terbangun dengan keringat dingin, tetapi ia sadar. Retna tidak hanya meneror, ia meminta bantuan. Liontin itu adalah kunci.
Dengan meneliti liontin itu dan catatan kuno yang ia temukan, Aruna mengungkap kebenaran yang jauh lebih kelam dari sekadar hantu. Dedemit Karang, Retna, adalah kembang desa yang tewas bukan karena bunuh diri, melainkan karena difitnah dan dikutuk dengan santet oleh keluarga tuan tanah yang dendam. Keluarga tuan tanah itu adalah nenek moyang dari Kepala Desa yang kini memimpin.
Dan yang paling menyakitkan: Retna dikhianati oleh kekasih sejatinya sendiri, Kakek Jaga, yang memilih bungkam demi keselamatan dirinya.
Aruna menyadari bahwa liontin yang ia pegang adalah pusaka penangkal yang Retna gunakan untuk melawan santet, dan kini pusaka itu beralih kepadanya.
Ia menemui Kakek Jaga. Wajah tua itu pucat ketika Aruna memegang liontin di hadapannya.
"Liontin ini... kau yang memberikannya padanya, bukan?" tuntut Aruna. "Kau meninggalkannya karena takut diancam tuan tanah. Kau berbohong pada seluruh desa!"
Kakek Jaga tersentak. Ia mencoba merebut liontin itu, matanya dipenuhi kepanikan. "Kau tidak tahu apa-apa! Retna harus tetap di sana! Demi ketenangan desa!"
Tiba-tiba, pintu rumah Kakek Jaga didobrak. Kepala Desa, bersama beberapa warga yang dipersenjatai obor, datang. Mereka menganggap Aruna sudah membawa malapetaka.
"Pergi kau, Nona! Kau bawa bencana!" teriak Kepala Desa.
Aruna melihat tidak ada jalan keluar. Dengan sisa keberaniannya, ia melarikan diri, berlari kencang menuju satu-satunya tempat yang bisa menyelesaikan semuanya: Simpang Lima Karang.
Malam itu, Simpang Karang menjadi arena pertarungan antara kebenaran dan kebohongan. Aruna berdiri di tengah persimpangan, dikepung oleh warga dan dikejar oleh Kepala Desa dan Kakek Jaga.
Langit tiba-tiba gelap. Aroma melati busuk menyelimuti segalanya. Sosok Dedemit Retna muncul dalam wujudnya yang paling mengerikan—tengkorak bermata api. Ia mengaum, mengarahkan tatapan dendamnya kepada Kepala Desa dan Kakek Jaga.
"Hentikan!" teriak Aruna. "Dengar aku! Dengar dia!"
Aruna memegang liontin itu tinggi-tinggi. Dengan suara bergetar, ia menyiarkan rekaman pengakuan Kakek Jaga dan bukti-bukti kelam tentang kejahatan para pendahulu Kepala Desa.
Di hadapan warga yang terkejut, Retna yang marah, dan entitas jahat yang merasuki dendamnya, Kepala Desa dan Kakek Jaga roboh. Mereka tidak punya pilihan selain mengakui dosa yang selama ini mereka kubur.
Saat pengakuan itu selesai, aura gelap Retna memudar. Wajah tengkoraknya perlahan berubah, seolah senyum damai muncul.
Namun, belum usai. Entitas jahat, roh santet yang selama ini menumpang pada dendam Retna, tidak terima. Ia menyerang Aruna.
Aruna menjerit. Sambil memejamkan mata, ia menggenggam liontin Retna erat-erat. Liontin itu memancarkan cahaya perak yang sangat kuat, menerangi Simpang Karang dan mengusir roh jahat itu kembali ke kegelapan.
Keesokan paginya, Desa Simpang Karang kembali sunyi. Aruna meninggalkan desa, membawa serta liontin perak kuno itu, dan rekaman yang akan mengguncang publik.
Ia tidak hanya meliput hantu. Ia mengungkap kebenaran yang membebaskan.
Aruna berhasil membawa berita besar ke kota, tetapi ia tahu ia meninggalkan sepotong hatinya dan sebuah janji di sana. Ia tahu, meskipun dendam Retna telah terangkat, kekuatan dan misteri di Simpang Karang akan selalu memanggilnya kembali.
— Tamat —


